Sebelum Dihapus Bea Cukai, Denda Eksportir Nakal Capai Rp56 M

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
11 August 2023 17:04
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani  (Tangkapan Layar Kementerian Kesehatan R)
Foto: Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani (Tangkapan Layar Kementerian Kesehatan R)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat, total pengenaan sanksi terhadap eksportir nakal yang tak patuh ketentuan devisa hasil ekspor mencapai Rp 56 miliar.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani mengatakan, total nilai tersebut merupakan penerapan sanksi selama periode 2019-2023 dengan memanfaatkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 atau PP DHE lama.

"Pemerintah telah mengenakan sanksi sebanyak Rp 56 miliar terhadap perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DHE-nya dengan menggunakan sistem PP yang lama," kata Askolani saat konferensi pers APBN, Jumat (11/8/2023).

Adapun untuk penerapan sanksi menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2023 atau ketentuan terbaru, menurutnya belum ada eksportir yang terkena. Sebab, kebijakan itu baru berlaku pada Agustus 2023 dan memiliki jeda 3 bulan setelahnya untuk ketentuan memarkirkan dolar hasil ekspornya.

"Sehingga nanti kepatuhan dari perusahaan itu akan kita lihat setelah 3 bulan Jalan setelah Agustus. Jadi kami tegaskan saat ini belum ada perusahaan yang kemudian kita lakukan pengawasan sesuai dengan PP 2023," tutur Askolani.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghilangkan pengenaan sanksi denda dalam aturan sanksi terkait devisa hasil ekspor (DHE) kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan atau pengolahan sumber daya alam.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 73 Tahun 2023 yang menjadi aturan turun PP 36/2023, dia hanya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan DHE. Padahal, dalam regulasi sebelumnya, yakni PMK 135 Tahun 2021, termuat jenis sanksi denda.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, penghapusan sanksi denda itu karena pemerintah tak ingin mengutamakan hukuman pungutan dalam jumlah uang tertentu. Sebab, menurutnya tidak efektif.

"Sebab gini, kalau kita pakai nilai uang belum tentu itu efektif, tapi kalau kita tidak layani ekspornya, langsung signifikan," kata Askolani saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (28/7/2023).

Menurut Askolani, sebetulnya sanksi penangguhan layanan ekspor merupakan sanksi yang sangat efektif untuk membuat para eksportir patuh memarkirkan dana hasil ekspornya di sistem keuangan domestik. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.

"Yang penting minimal kita mengingatkan secara administrasi dulu, kalau dia sudah enggak kita layani ekspornya kan tentu mengganggu. Jadi tanpa didenda pun bisa," tutur Askolani.

Sebagai informasi, dalam PMK 135 Tahun 2021, penerapan sanksi denda termuat dalam pasal 8. Bunyinya ialah sanksi diberikan kepada eksportir yang tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam Rekening Khusus DHE SDA dalam jangka waktu tertentu.

Eksportir dikenakan pungutan berupa denda sebesar 0,5% dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA. Lalu, denda sebesar 0,25% juga dikenakan dari nilai DHE SDA yang digunakan dari rekening khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan.

Sementara itu, dalam PMK 73 Tahun 2023 sanksi yang dikenakan hanya sanksi administratif sebagaimana ditetapkan secara khusus pada Bab V PMK itu.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Luhut Bongkar Alasan Pengusaha Tambang Protes Kebijakan DHE

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular