
Rencana RI Setop Ekspor Gas Gak Mudah, Ini Alasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana Pemerintah Indonesia untuk menutup keran ekspor gas ke luar negeri dinilai tidak akan mudah. Mengingat, pemanfaatan gas untuk di dalam negeri sendiri masih tergolong kecil.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Elan Biantoro setuju bahwa kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sudah sepenuhnya harus dimaksimalkan untuk kepentingan negara guna memberikan efek berganda (multiplier effect).
Namun demikian, apabila berbicara mengenai sejarah industri gas, sektor ini bukan industri yang murah dan mudah. Pasalnya, sektor ini membutuhkan kapitalisasi yang cukup besar mulai dari hulu (upstream), midstream, hingga hilir (downstream).
"Sementara perjalanan negara kita sejak awal sampai sekarang itu sudah terbentuk bahwa sebagian produksi gas kita dengan keterbatasan yang kita miliki kita perlu mengekspor dan ekspornya itu juga sifatnya adalah kontrak jangka panjang, karena apa waktu saat kita ekspor demand gas kita di Indonesia masih sangat kecil," kata dia dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (8/8/2023).
Elan mengakui produksi gas nasional saat ini memang cukup besar, namun hal tersebut tak terlepas dari peran investor kelas dunia yang menanamkan modalnya di Indonesia. Mengingat, pada awal-awal pengembangan lapangan gas di Indonesia dimulai, perusahaan nasional belum sanggup dari sisi investasi.
"Sekarang kontrak gas itu juga untuk upstream cukup panjang 30 tahun bisa diperpanjang 20 tahun, sehingga kita harus mempertimbangkan juga aspek aspek yang sudah terikat dalam kontrak apakah itu dari sisi upstream maupun dari sisi midstream-nya," tambahnya.
Di sisi hulu misalnya, terdapat kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi produksi yang berjalan. Selanjutnya dari sisi midstream, terdapat infrastruktur LNG yang biaya investasinya tidak murah.
"Dan itu dibiayai oleh investor, dari situ lah pada saat itu Indonesia berkelebihan, tapi demand-nya sedikit di dalam negeri. Tetapi kita produksinya besar, sehingga kita ekspor ke Jepang, Korea, China dan dengan bertambahnya ekonomi berjalan saat ini kondisi kita demand dalam negeri itu mulai meningkat," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan pemerintah bakal melarang ekspor gas demi mendukung operasional industri petrokimia di dalam negeri. Mengingat, impor bahan baku industri petrokimia di dalam negeri tiap tahunnya masih cukup tinggi.
Menurut Luhut, ide kebijakan larangan ekspor gas tersebut muncul setelah pihaknya melakukan kajian internal bersama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi.
"Kita setelah hitung-hitung dengan tim Jodi CS, kita mungkin akan sarankan kita gak akan ekspor gas lagi ke luar. Kita bikin downstreamingnya petrokimia," kata Luhut dalam acara Economic Update CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).
Oleh sebab itu, ia berharap agar harga gas di dalam negeri dapat ditekan lagi menjadi US$ 5 per Million British Thermal Unit (MMBTU). Adapun saat ini pemerintah menetapkan harga gas bumi tertentu atau HGBT, untuk tujuh bidang industri di level US$ 6 per MMBTU.
"Kita ketemu gas di Masela kemudian di Warim itu bisa hampir dua kali Masela bisa juga kita ketemu cadangan minyak yang mungkin diduga 27 miliar barel. Jadi kaya sekali negerimu ini. Ngapain ribut-ribut," kata dia.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreng! Luhut Tiba-Tiba Sebut RI Bakal Setop Ekspor Gas
