
Menko PMK Bicara Stunting, Kemiskinan, Hingga Bansos Jokowi

Tingkat pengangguran di tanah air masih tinggi, pada 2022 menembus 8,42 jt orang. Bagaimana Kemenko PMK bekerja sama dengan kementerian/lembaga lain untuk mengatasi hal ini?
Secara siklus hidup, Kemenko PMK memiliki human cycle development. Pembangunan manusia berbasis siklus, dari awal kehidupan seperti persoalan stunting, sampai nanti tua. Sudah ada siklus yang kita rancang, dan intervensi apa saja di masing-masing etape itu. Misalnya di awal kehidupan itu soal stunting, kemudian untuk 5 tahun setelahnya ada program PAUD (Pendidikan anak Usia Dini).
Kemudian SD dan SMP ada pendidikan karakter dasar, SMA SMK menyiapkan masuk dunia kerja. Sekarang ini memang puncaknya dari siklus pembangunan manusia ini, adalah bagaimana menyiapkan anak-anak masuk dalam usia produktif baik SMA SMK, maupun yang berada di politeknik.
Pemerintah itu sudah menggulirkan Perpres untuk revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi. Itu kuncinya untuk memastikan mereka nanti ketika menjadi usia produktif, ketika kita menghadapi masa bonus demografi, bisa bekerja dengan keterampilan yang dimiliki.
Memang masalahnya adalah sampai seberapa kita bisa menciptakan lapangan kerja. Supaya bisa menciptakan lapangan kerja terbuka lebar, Presiden Joko Widodo menggencarkan investasi, kalau investasi ini terbuka lebar, dan orientasinya pada padat karya akan tercipta lapangan kerja.
Untuk itu Presiden Joko Widodo sangat ngotot soal UU Ciptaker, karena ini titik kulminasi dari pembangunan manusia Indonesia dari siklus tadi. Sekarang bagaimana menyiapkan anak-anak usia produktif yang memiliki keterampilan dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang semakin dinamis dengan ketersediaan lapangan kerja. Ini menjadi taruhan memang dan persoalan.
Perguruan tinggi setiap tahunnya menghasilkan lulusan 1,3 juta, kemudian yang tamat SMA/SMK kira-kira 3,8 jt. Artinya 3,8 juta hanya 31% yang masuk perguruan tinggi.
Sisanya mencari kerja, artinya dalam satu tahun dibutuhkan lapangan kerja baru sekitar 3,6 juta. Angka ini tidak mungkin hanya pemerintah (yang menciptakan lapangan kerja), dan tidak mungkin digiring semua ke sektor industri. Kenapa? Karena pertumbuhan industri kita masih pada tahap menuju industrialisasi, maka yang paling mungkin adalah mendorong mereka menjadi entrepreneur.
Bagaimana Kemenko PMK melibatkan sektor swasta untuk bisa menciptakan lapangan kerja dan menekan pengangguran?
Sekarang ini titik kulminasi dalam menyiapkan sumber daya manusia itu adalah bagaimana menyiapkan mereka menjadi tenaga produktif yang memiliki kemampuan dan keterampilan relevan yang tinggi, jadi high skill. Kemudian tersambungkan atau compatible dengan lapangan kerja.
Ketersediaan lapangan kerja ini urusan Menko Bidang Perekonomian dan Menko Bidang Maritim dan Investasi. Saya harus berkoordinasi terus dengan beliau berdua ini. Sebenarnya urusan saya menyiapkan (pendidikan dan pelatihan) bersama Kemendikbud Ristek dan Kementerian Tenaga Kerja. Pendidikannya disiapkan Kemendikbud Ristek, pelatihannya disiapkan Kementerian Tenaga Kerja. Untuk menyambungkan dua hal tadi.
Sudah ada perpres nomor 68 2022 tentang revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, dimana saya bertanggung jawab melakukan itu.
Kita tidak mungkin mendorong SDM usia produktif, semua masuk ke dunia industri karena dunia industri karena belum tumbuh baik. Beda dengan Jerman, yang pertumbuhan industri, dengan lapangan kerja itu sudah seimbang.
Mereka (Jerman) sudah punya tradisi ratusan tahun di dalam industri. Sehingga jumlah yang keluar sekolah dengan yang akan masuk dunia industri itu malah kurang. Disana anak2 lulus dari SMA diijon oleh pabrik dan perusahaan industri, dibayar mereka.
Jadi sekolah sudah dibayar. Mata pelajaran dan kurikulum disesuaikan dengan perusahaan dimana dia akan bekerja, karena kebutuhan tinggi karena industri pesat, sementara yang lulus kurang.
Beda dengan di Indonesia, kita industri baru mau tumbuh yang lulus 3,6 juta setiap tahun. Untuk itu harus kita dorong ke sektor usaha, entrepreneur sebagai tenaga usaha mandiri.
Ini kita sudah bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Jadi sekarang itu pelaku persiapan tenaga kerja kita ujung tombaknya Kadin.
Kadin memiliki anchor dengan sektor swasta. Jadi sekarang ujung tombak kadin bukan lagi kemenristekdikti dan kemen tenaga kerja. Ini yang mengorkestrasi Kemenko PMK, dan sekarang ada kantor khusus di sini untuk yang bertugas bagaimana mengorkestrasi hubungan pihak terkait, termasuk industri dan swasta harus ikut bertanggung jawab.
Sekarang Kadin malah menjadi bagian dari kami, dulu di bawah Kemenko Bidang Ekonomi, kini juga di bawah Kemenko PMK. Kita akan terus gencarkan mudah-mudahan setelah Covid-19 pemulihan ekonomi sudah bagus 5,2% yang berarti no 3 di dunia di antara negara berpenduduk besar. Saya optimis kita bisa siapkan dengan sebaiknya.
Bagaimana vokasi bisa jadi wadah link and match antara skill dan kebutuhan pasar tenaga kerja tanah air?
Sekarang kurikulum tidak lagi ditentukan kementerian baik Kemendikbudristek dan Kementerian Tenaga Kerja. Tapi yang menentukan kurikulum sekarang Kadin. Jadi Kadin punya porsi 70% dari total kurikulum.
Kita paling hanya mengurusi pendidikan pancasila, bahasa, dan yang lainnya. Tetapi untuk jenis keterampilan apa yang seharusnya diberikan kepada calon peserta pelatihan itu perusahaan/pabrik. Bahkan bila perlu sekolahannya di tempat perusahaan yang tersedia.
Sebetulnya sudah ada kebijakan pem untuk memberikan semacam bonus untuk perusahaan. Istilahnya super deduction tax. Jadi kalau ada perusahaan yang bisa beri fasilitas pendidikan dan pelatihan itu bisa dipotong pajaknya. Tapi secara teknis katanya masih ada kesulitan. Kemudian juga ada program-program yang dikembangkan Kemendikbudristek saya kira juga sama, seperti program co founding.
Kalau ada perusahaan yang bisa menampung siswa kemudian pembiayaannya bisa berdua antara sekolah didukung Kemendikbud Ristek, dengan perusahaan yang berkaitan sehingga tidak 100% jadi tanggung jawab perusahaan, kita pemerintah juga ikut meringankan.
Masyarakat Indonesia mayoritas bekerja di sektor informal, apa tantangannya?
Tantangan pertamanya skill. Jadi mereka punya keterampilan yang masih sangat bersahaja terutama dalam sektor produksi dan pengemasan. Ada yang produksinya bagus, cukup diminati pasar tapi penampilan tidak meyakinkan karena secara pengepakan kurang bagus. Maka 2 ini harus kita benahi, kualitas produksi dan pengemasan.
Kemudian modal. Sebetulnya ketersediaan sudah sangat besar, tetapi tingkat literasi permodalan di kalangan pelaku ekonomi terutama mikro dan ultra mikro itu sangat rendah, dan ini terus kita dorong. Pemerintah menyediakan KUR itu bisa hanya 6% (bunganya), kemudian PMN ada permodalan mikro yang dikelola Kementerian Keuangan yang juga mestinya bisa diakses mereka.
Sekarang ini yang miskin naik kelas karena dibantu PKH, itu kita dorong untuk mendapat akses permodalan baik KUR atau PMN Mekaar, dengan itu kita jemput mereka yang sumber pendapatan rendah bisa terentaskan melalui mekanisme ini. Sekaligus mengurangi pengangguran, dan juga mengentaskan kemiskinan. Ini harus kita tangani secara holistik terkait satu sama lain.
Di tengah tahun politik, bagaimana cara memastikan bantuan sosial yang mengalir tidak dimanfaatkan sebagai money politik?
Kalau di lapangan tidak semudah itu ya, apalagi tahun politik. Tapi saya sebagai Menko PMK memastikan akan bekerja 100% membantu Presiden Joko Widodo untuk memastikan program dan berbagai skema bantuan untuk masyarakat bawah terutama, tetap terjamin. Soal apakah ada nuansa politik atau tidak dalam proses itu, saya kira itu urusan lebih taktis di lapangan. Bagaimanapun sebagai pemerintah juga tidak bisa lepas dari itu. Karena pemerintah juga bagian dari itu, wong menteri menterinya juga dari partai kan.
Yang penting jangan sampai ketika berbagai faktor itu masuk jadi bagian kerja mereka terjadi eksternalitas negatif, jadi memanfaatkan ini untuk kepentingan di luar batas. Kalau sifatnya positif internality, misalnya karena dia rajin turun ke bawah bagi bagi, melaksanakan dengan baik kemudian citranya terangkat saya kira kita tidak bisa dihindari yang itu. Tetapi kalau sampai terjadi negatif eksternalitas itu yang betul-betul kita harus hindari.
[Gambas:Video CNBC]
