
Maaf China, Tak Semudah Itu Geser Dominasi Dolar AS!

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu dedolarisasi yang terjadi di berbagai negara saat ini, ternyata tak sepenuhnya membuat eksistensi dolar Amerika Serikat mudah tergantikan sebagai mata uang dominan yang menjadi cadangan devisa global.
Ekonomi senior Indonesia yang juga mantan menteri keuangan, Chatib Basri mengatakan, kondisi ini disebabkan masih tingginya fleksibilitas dolar dalam perdagangan global. Tercermin dari cadangan devisa global yang 60% menggunakan dolar AS.
Adapun penggunaan mata uang utama lainnya, seperti euro hanya mencapai kisaran 20%, yen Jepang di bawah 10%, dan yuan China hanya sekitar 4%. Kondisi ini juga terjadi untuk international debt securities, international loan, foreign exchange turn over, hingga Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT).
"Jadi sederhana saja orang pilih dolar karena flexibility. Jadi selama flexibility belum dapat karena belum digunakan secara luas, maka orang belum akan mengarah ke reminbi, itu menjelaskan kenapa LCS walau sudah terjadi belum besar porsinya," tegas Chatib kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Senin (8/7/2023).
Lagipula, dia menambahkan sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, China belum mau membuka sepenuhnya pemanfaatan mata uang utamanya, yakni renminbi secara global. Tercermin dari kebijakan kontrol devisa ketat yang mereka terus gunakan.
"Artinya China kalau dia mau jadi reserve currency dia harus bersedia defisit, pertanyaannya dia mauk gak defisit? Dari situ saya mau katakan less likely dedolarisasi tidak akan terjadi dalam waktu pendek, apakah akan terjadi? butuh waktu panjang," tegas Chatib Basri.
Di sisi lain, secara psikologis pasar atau publik, ia mengungkapkan, mayoritas pasti masih mau menggunakan dolar sebagai alat transaksinya. Sebab, masyarakat global masih mau menerima dolar di mana pun itu untuk dijadikan sebagai instrumen alat tukarnya.
"Bukan karena suka tapi tahu itu bisa ditukar di mana-mana, sesimpel itu, itu yang menjelasakan kenapa amerika punya privilage yang disebut exorbitant privilege, dia bisa cetak uang berapa pun karean diseluruh dunia orang mau terima itu," ungkapnya.
"Bukan enggak yakin (terhadap mata uang lainnya), mungkin belum sepenuhnya fully comfortable atau tradeble. Kalau dolar itu di mana-mana dipakai, orang kasus korupsi saja dibayar pakai dolar, itu menunjukkan itu fleksibel," ucap Chatib.
Namun, Chatib Basri mengakui dengan terus menggemanya istilah dedolarisasi saat ini, bisa saja perkembangan local currency transaction makin kuat, setelah terus digaungkan negara-negara lain, seperti Indonesia dengan ASEAN, serta antar negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
"Share dari porsi negara-negara yang dagang antar itu makin besar, jadi peran China makin luas, porsi perdagangannya makin luas, akhirnya bisa (LCT berkembang)," ucap Chatib Basri.
Namun, Chatib Basri turut mengingatkan, bila nantinya dedolarisasi terjadi, dan China mampu menjadikan mata uang renminbi nya sebagai mata uang global, bisa memicu fragmentasi yang kuat di dunia keuangan. Dampaknya, negara-negara harus memiliki cadangan devisa dengan dua mata uang dominan yang berbeda.
"Itu bisa jadi dua arsitektur keuangan internasional, karena China kalau dia enggak bisa pakai dolar dia pasti pakai renminbi kan, jadi nanti negara-negara harus dagang dengan reminbi, juga dengan satu lagi ya harus dengan dolar AS," ungkap Chatib.
Sebenarnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen juga telah melihat fenomena 'buang dolar' alias dedolarisasi kian marak. Ditandai dengan menurunnya cadangan dolar global.
Kendati demikian, Yellen melihat belum ada alternatif mata uang yang sepenuhnya dapat menggantikan dolar AS, bahkan yuan sekalipun.
"Tetapi dolar memainkan perannya dalam sistem keuangan dunia untuk alasan yang sangat bagus yang tidak dapat ditiru oleh negara lain, termasuk China," katanya, dikutip dari Business Insider, Selasa (20/6/2023).
"Kita (AS) memiliki pasar keuangan terbuka yang likuid, aturan hukum yang kuat dan tidak adanya kontrol modal yang tidak dapat ditiru oleh negara mana pun. Tidak akan mudah bagi negara mana pun untuk menemukan cara untuk mendapatkan dolar," papar Yellen.
Status cadangan dolar AS telah mengalami erosi bertahap selama dua dekade, dan mengalami penurunan tajam pada tahun 2022 meskipun kekuatannya dalam perdagangan internasional tetap tidak tertandingi, ungkap laporan Eurizon SLJ Asset Management pada bulan April lalu.
Data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, nilai dolar AS dalam cadangan devisa global memang mengalami penurunan drastis. Pada kuartal IV-2021, nilainya mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar.
Secara pangsa, pada 2021 sebesar 58,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 58,4%. Pangsa tersebut menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir. Pada awal 2000-an, pangsa dolar AS di cadangan devisa global masih di atas 70%.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukti Terbaru Dedolarisasi, Yuan Kian Kikis Dominasi Dolar AS
