
APBN Terbatas, Kebutuhan Dana Air Minum Perpipaan Rp 1.000 T

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan bahwa jika mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hanya mampu membiayai kebutuhan air minum perpipaan sebesar 37%.
Adapun saat ini, pemerintah baru bisa memenuhi kebutuhan air minum perpipaan rumah sekitar 20% saja. Artinya, masih ada beban 80% yang masih belum dilayani sistem perpipaan.
"Untuk air minum perpipaan misalnya, kita baru di angka 20%, selebihnya belum dilayani dengan sistem perpipaan. Sehingga kita masih punya beban untuk menyediakan 80% lagi," ujarnya kepada CNBC Indonesia di sela-sela acara Workshop DJPI PUPR di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa (7/4/2023).
Untuk itu lanjutnya, dalam memenuhi sisa kebutuhan perpipaan air minum yang sebesar 80% tersebut saat ini dibutuhkan biaya sangat besar, minimal sekitar Rp 1000 triliun. Menurut Herry, dana kebutuhan untuk 10% perpipaan sambungan rumah saja saat ini membutuhkan dana sebesar Rp 123,4 triliun.
Dengan dana APBN yang hanya menyanggupi 37% kemampuan, 63% sisanya dikatakan Herry harus dilakukan melalui pembiayaan yang inovatif, salah satunya bekerja sama dengan pihak swasta.
"Untuk bisa melibatkan mereka harus memahami mereka juga. Tidak bisa ajak swasta tapi berpikirnya seperti kita membangun sendiri. Jadi apa yang jadi concern swasta harus kita identifikasi, susun sedemikian rupa sehingga swasta tadi nyaman," jelasnya.
Adapun kepastian untuk pihak swasta yang harus bisa dipenuhi pemerintah salah satunya adalah dana investasi yang kembali dan menguntungkan. Saat ini, Herry mengaku pemerintah sudah banyak melakukan kerja sama dengan badan usaha maupun B2B.
Selain itu, agar kerja sama dengan swasta berjalan dengan baik, lanjut Herry, pemerintah juga harus melihat bisnis model penyediaan air minum secara utuh dalam satu perencanaan, tidak bisa lagi diajukan unbundling, yang mana saat bagian pembangunan Water Treatment Plant (WTP) sisi hulu selesai, bagian hilir seringkali malah belum siap untuk menerimanya.
Sehingga untuk melancarkan kerja sama ini, semua pihak harus melakukan dan menyelaraskan pembangunan perpipaan air secara hulu ke hilir atau dikenal source to tab.
"Tidak harus dalam satu kontraktual, yang penting dalam satu kesatuan perencanaan. Jadi waktu kita menyiapkan pembangunan WTP sisi hulu, dalam waktu sama kita juga sudah menyiapkan bagaimana sambungan rumah bisa tersedia pada saat WTP terbangun. Selama ini hulunya dilakukan kerja sama dengan swasta, hilirnya sendiri. Nah ini yang harus kita ubah agar dalam waktu bersama, ini juga harus kita kerja samakan. Seperti itu yang hilirnya," pungkasnya.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mengungkap Inovasi Pendanaan untuk Air Bersih dan Sanitasi