Risikonya Ngeri Ubah Rp1.000 Jadi Rp1, Hati-hati Bos BI!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
04 July 2023 07:50
Infografis/ Wacana penyederhanaan nilai rupiah muncul lagi/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Wacana penyederhanaan nilai rupiah muncul lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Redenominasi atau pemangkasan tiga digit nol di nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya memiliki risiko mengerek naik inflasi. Banyak negara yang bisa menjadi contoh kasusnya.

Ekonom senior Indonesia, Raden Pardede mengatakan hal ini. Dia mengungkapkan, risiko naiknya inflasi itu disebabkan hilangnya digit detail dalam satuan harga barang. Misalnya untuk barang-barang yang harganya Rp 9.375, maka akan ada pembulatan.

"Risikonya yang mungkin harus diantisipasi adalah pembulatan-pembulatan daripada angka, katakan Rp 9.300 misal dipotong jadi Rp 9,3, tapi kalau Rp 9.375 jadi Rp 9,4 atau 9,3 nantinya?" ungkap Raden dalam program Central Banking CNBC Indonesia, seperti dikutip Selasa (4/7/2023).

"Persoalannya kalau pembulatan ke atas cenderung menaikkan inflasi, sedangkan kalau pembulatan ke bawah bisa saja dianggap merugikan produser atau penjual itu. Hal-hal ini yang harus diantisipasi," tuturnya.

Dia mengakui, memang banyak pedagang yang telah melakukan redenominasi untuk harga produknya, seperti penggunaan huruf K atau menghapus sama sekali tiga angka nol di daftar menunya seperti di restoran, cafe, hingga UMKM. Namun, di toko ritel atau mal masih banyak harga yang rinci tiga digit.

"Sekarang banya menu yang memotong 3 nol nya, tapi bagaimana kalau pedagang-pedagang yang take harga Rp 9.350 atau Rp 9.375? mudah-mudahan hal ini sudah dipikirkan Bi apakah pembulatan ke atas atau pembulatan ke bawah," tegas Raden.

Risiko berikutnya yang mampu menaikkan angka inflasi atau gejolak du sektor keuangan dengan adanya redenominasi menurut Raden adalah kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat bahwa kebijakan ini dianggap sanering atau pemotongan daya beli dengan pemotongan nilai tukar rupiah.

"Maka ini perlu dijelaskan baik ke masyarakat maupun kelompok-kelompok lain termasuk politisi jangan sampai dipolitisir. Jadi ini harus ada usaha dari BI maupun Kemenkeu untuk jelaskan ini secara luas dan komprehensif," ujar Raden.

Oleh sebab itu, dia menganggap komunikasi menjadi sangat penting bagi pemerintah dan BI saat mengimplementasikan redenominasi mata uang rupiah. Sebab, kebijakan redenominasi yang dilakukan pemerintah bukan seperti negara lain yang dipicu hiperinflasi ataupun konflik, melainkan di tengah situasi ekonomi, politik, dan sosial yang stabil.

"Nah negara-negara yang gagal itu kalau kita lihat negara yang memang tidak bisa mengontrol inflasinya, dan bank sentralnya tidak kredibel, tidak independen, dan secara politik di negara tersebut umumnya tidak stabil dan kita berbeda," papar Raden.

Sebagai pembelajaran, setidaknya ada lima negara yang telah melakukan redenominasi namun gagal, karena inflasinya malah semakin terkerek naik dan mata uangnya terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS. Di antaranya Brazil, Rusia, Korea Utara, Zimbabwe, serta Peru.

Sebagai informasi, kembali mencuatnya isu redenominasi di tanah air terjadi setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memasukkan RUU Redenominasi Rupiah ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020.

Meski belum ada pembahasan resmi antara pemerintah dengan DPR terkait RUU itu, BI telah lama melakukan kajian untuk penerapan redenominasi, yaitu sejak 2010. Sayangnya, RUU itu tidak dilanjutkan proses legislasinya hingga kini oleh pemeritnah dan DPR, salah satu kendala ialah pandemi yang terjadi pada awal 2020.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rencana RI Ubah Rp1.000 jadi Rp1, Kapan Dimulai?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular