Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1

RI Wajib Belajar Redenominasi dari 3 Negara Gagal Ini

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
07 July 2023 09:55
INFOGRAFIS, Redenominasi Mata Uang Rupiah
Foto: Infografis/Redenominasi Mata Uang Rupiah/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Redenominasi atau pemangkasan tiga digit nol di nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya memiliki risiko mengerek inflasi. Tidak sedikit negara yang menjadi contoh buruk redenominasi.

Di Indonesia, pemerintah sudah memasukkan redenominasi rupiah ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan periode 2020-2024. Namun hingga saat ini, rencana tersebut tak kunjung membuahkan hasil. Terlebih lagi dengan adanya pandemi dalam 3 tahun terakhir.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, penyederhanaan rupiah dari Rp 1.000 jadi Rp 1 sebenarnya sudah siap dilakukan sejak lama, mulai dari desain hingga tahapan-tahapannya.

"Sudah kami siapkan sejak dari dulu secara operasional dan kemudian bagaimana untuk langkah-langkahnya," tegas Perry, dikutip Senin (26/6/2023).

Namun, dia mengingatkan untuk melakukan redenominasi harus dengan memperhatikan tiga faktor berbagai situasi perekonomian di tanah air.

Faktor tersebut yaitu kondisi makro ekonomi yang stabil, stabilitas sistem keuangan dan moneter yang stabil, serta kondisi sosial dan politik yang kondusif.

"Timing-timing itu yang menjadi pertimbangan utama. Ekonomi kita kan sudah bagus, tapi ada baiknya memberi momen yang tepat," jelas Perry.

Sayangnya, kata Perry, saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan redenominasi. Hal ini dikarenakan adanya ketidakpastian global yang dikhawatirkan berdampak ke Indonesia.

Bisa dipahami, kondisi global yang masih mencatatkan laju inflasi tinggi dikhawatirkan mempengaruhi indeks konsumen di dalam negeri. Dari catatan Center for Public Policy Transformation & Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 30 negara yang telah memangkas nol di mata uangnya menunjukkan bahwa negara dengan inflasi rendah (<10%) memiliki risiko rendah dalam penerapan redenominasi, jika dibandingkan dengan negara yang mengaplikasikan redenominasi saat inflasinya cukup tinggi (>10%) maka akan tetap tinggi.

Salah satu kisah buruk dari redenominasi dirasakan oleh Ghana. Negara yang terletak di Afrika Barat ini melakukan redenominasi dan tidak dapat dikatakan sukses karena tingkat inflasinya mengalami peningkatan sebesar lima persen satu tahun setelah redenominasi.

Salah satu penyebabnya adalah 70% uang beredar di Ghana berada di luar sistem perbankan. Sedangkan transaksi di Ghana lebih banyak terjadi secara tunai daripada perbankan.

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam redenominasi yakni money illusion. Dampak bias psikologis ini memberikan efek bahwa harga barang menjadi lebih murah sebab hilangnya tiga digit angka nol.

Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Sebagai contoh jika saat ini harga barang adalah Rp50.000 dan hal tersebut dirasa cukup berat bagi konsumen, namun ketika redenominasi diimplementasikan, maka harga barang menjadi Rp50 sehingga willingness to pay (kerelaan untuk membayar) akan lebih tinggi.

Dengan kata lain, mendorong perilaku konsumsi yang lebih besar dan berpotensi membuat produsen untuk meningkatkan harga ke titik tertinggi hingga batas tolerir konsumen.

Selain Ghana, adapula Brasil. Negeri Samba ini telah melakukan redenominasi sebanyak enam kali. Pertama kali, Brazil melakukan pemangkasan nol dalam mata uangnya pada 1986. Namun, Brasil harus gagal. Tidak menyerah, Brasil pun mengulang kembali pada 1994.

Dikutip dari Detik, Brasil melakukan penyederhanaan mata uangnya dari cruzeiro menjadi cruzado. Namun, kurs mata uangnya justru terdepresiasi secara tajam terhadap dolar AS hingga mencapai ribuan cruzado untuk setiap dolar AS. Kegagalan ini dikarenakan pemerintah Brasil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu masih mencapai 500% per tahun.

Ditengah hiperinflasi tahun ini, Presiden Nicolas Maduro kembali merencanakan pemangkasan lima angka nol dalam mata uang Brasil. Pendahulu Maduro, Chavez, menghapus tiga angka nol dari Bolívar pada 2008, tetapi itu gagal mencegah hiperinflasi.

Kemudian, dari catatan Tim Riset CNBC Indonesia, ada Zimbabwe yang telah melakukan tiga kali redenominasi. Akibat hiperinflasi yang parah, pada tahun 2009, satu dolar Zimbabwe ke-4 sama dengan 10 septillions (1×1025) dolar pertama.

Dilansir oleh FXSSI, dolar Zimbabwe diperkenalkan ketika negara itu memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1980. Pada saat itu, 1 ZWD bernilai US$1,47 di pasar resmi. Namun seiring waktu, itu turun dengan cepat.

Pada 2006, hiperinflasi yang tidak berkelanjutan mencapai 1.730%. Pada awalnya, pemerintah berencana untuk memperkenalkan mata uang yang sama sekali baru, bukan yang terdepresiasi.

Namun tanpa mencapai stabilitas makroekonomi, upaya pemerintah tersebut tidak masuk akal. Jadi, dolar pertama diganti dengan dolar kedua dengan kurs 1.000:1.

Pada awalnya, kurs resmi dolar Zimbabwe kedua adalah 250 ZWN hingga US$1. Tetapi ketika inflasi melebihi 1.000%, mencapai 30.000 ZWN hingga 1 USD pada 2007.

Pada 2008, mata uang itu didenominasi kembali lagi, dengan nilai 10 miliar ZWN (dolar ke-2) ke 1 ZWR baru (dolar ke-3). Pada saat itu, nilai ZWN turun menjadi sekitar 688 miliar per US$1.

Lalu, pada November 2008, hiperinflasi mencapai tingkat bulanan sebesar 79,6 miliar %. Jadi, pada tahun 2009, redenominasi ketiga memotong 12 nol dari nilai nominal ZWR. Nilai tukarnya adalah 1.000.000.000.000 ZWR untuk 1 dolar keempat baru (ZWL).

Terakhir, pada April 2009, pemerintah Zimbabwe baru memutuskan untuk mendemonstrasikan dolar Zimbabwe dan melegalkan beberapa mata uang asing, seperti rand Afrika Selatan, dolar AS, Euro, yuan China, dan lain-lain.

Belajar dari negara-negara di atas, Indonesia harus ekstra hati-hati dalam melakukan redenominasi. 


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapan Waktu yang Tepat Bagi RI Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular