Money Talks on Location

Naik Terus, Begini Cara DPR & Pemerintah Putuskan Utang RI!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Rabu, 14/06/2023 14:52 WIB
Foto: Direktur SUN DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan saat menghadiri acara CNBC Indonesia 'Money Talks On Location' di Jakarta, Rabu (14/6/2023). Acara 'Money Talks On Location' kali ini membahas topik tentang "Amankah Utang Pemerintah Saat Ini?" (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang pemerintah hingga April 2023 mampu turun sedikit dibandingkan pada posisi Maret 2023. Namun, selama masa Pandemi Covid-19 lonjakan utang terjadi dengan pesat untuk menambal kebutuhan belanja negara. Keputusan pengambilan utang saat itu pun merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

Pada 1 Desember 2018, utang Indonesia sebetulnya masih sebesar Rp 4.514 triliun, lalu mulai melonjak drastis pada 1 Maret 2020 menjadi Rp 5.244 triliun. Kenaikannya terus berlanjut hingga tembus Rp 7.134 triliun pada 1 Maret 2022, dan sampai 1 Maret 2023 sudah Rp 7.879 triliun meski pada April menjadi Rp 7.849 triliun.


Terus naiknya utang itu sebetulnya tak terlepas dari keputusan pemerintah dan DPR untuk menerbitkan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang membolehkan defisit APBN naik di atas batasan yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara sebesar 3% dari PDB. Akibatnya kebutuhan pembiayaan untuk belanja naik.

Anggota Komisi XI DPR RI fraksi PDI Perjuangan Eriko Sotarduga menjelaskan, penerbitan UU itu sebetulnya keputusan pelik yang harus ditanggung pemerintah dan DPR. Sebab, selain melanggar ketetapan defisit dalam UU Keuangan Negara, juga harus menarik utang baru yang saat itu disediakan Bank Indonesia melalui skema burden sharing.

"Bagaimana DPR bersama KSSK waktu itu dalam kondisi yang sangat luar biasa berat untuk memutuskan burden sharing, meredam defisit ini kan sudah lebih dari 3%, sudah melanggar," ujar Eriko dalam acara CNBC Indonesia Money Talks On Location 2023, Jakarta, Rabu (14/6/2023).

Saat itu, ia mengatakan, meski Pandemi Covid-19 sedang melanda dunia, pemerintah dan DPR harus setiap hari mengadakan rapat membicarakan rencana keputusan itu. Akhirnya, keputusan penerbitan itu ditunaikan setelah pemerintah dan DPR sepakat bahwa daya beli masyarakat harus dijaga di tengah lemahnya pendapatan akibat dampak pandemi.

"Kenapa DPR berani karena ini nawaitunya, niatnya untuk rakyat, untuk kesehatan, untuk perutnya. Termasuk kami PDIP di pemerintah kita dahulukan apapun riiskonya kepentingan rakyat nomor satu," tegasnya.

"Nah dalam mengambil keputusan itu DPR tidak bisa sembarangan, kami waktu Covid-19 baru muncul, ditemukan zoom belum lama kan, berisiko untuk setiap minggu bahkan setiap hari kalau dihitung-hitung berkoordinasi dengan KSSK melihat situasi kondisi terakhir yang terjadi," tuturnya.

Di tengah kondisi itu, sebetulnya yang menarik kata Eriko, pemerintah dengan DPR sama-sama terbuka dengan jelas pemanfaatan utang itu untuk menutupi pelebaran defisit. Hasil yang akan diperoleh untuk menjaga stabilitas ekonomi pun ditetapkan sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kini kembali stabil di level 5% dengan APBN yang malah surplus.

"Artinya di situ harus ada kesepakatan, harus ada yang namanya keterbukaan, harus ada hasil yang dilihat oleh rakyat dan dilihat mata dunia," tuturnya.

Ia memastikan dalam mendesain pemanfaatan utang yang hingga kini terus naik pun pemerintah dan DPR sepakat pemanfaatannya tidak bisa sembarangan, melainkan berdasarkan prinsip pragmatisme yaitu demi kepentingan masyarakat.

Jadi tidak secara sembarangan, pragmatis, tidak bisa dipungkiri ada tentu bahwa kepentingan kesehatan masyarakat dan vaksin saat itu tidak bisa dielakkan. Tapi juga secara ideologis itu juga penting untuk infrastruktur. Bagaimana bangsa ini mau maju kalau infrastruktur tidak baik," ungkapnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Cegah Konflik Rebutan Pulau, DPR Dorong Mediasi