
Apes Terus! Ributnya di Amerika, Indonesia Tetap Kena Sialnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi di Amerika Serikat (AS) memberikan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini tidak hanya sekali, namun berulang kali meskipun persoalannya berbeda.
Belum lama, pasar keuangan Indonesia dibuat berkecamuk akibat suku bunga acuan AS dipaksa naik secara agresif. Kini persoalan muncul karena AS terancam bangkrut atau gagal bayar (default) utang.
Kok bisa?
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, Amerika Serikat merupakan negara dengan kapasitas perekonomian terbesar, yakni dengan PDB pada 2022 mencapai US$ 25 triliun. Dengan kapasitas itu, tentu setiap guncangan yang terjadi terhadap perekonomiannya akan memengaruhi ekonomi dunia secara umum.
"Karena AS negara yang besar, kalau dia shaky pasti akan ada transmisi ke ekonomi lain itu aja sebenarnya, nanti kita tinggal lihat transmisinya ke ekonomi Indonesia seberapa besar," kata Amalia saat ditemui CNBC Indonesia di kantornya, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Oleh sebab itu, ia mengatakan, yang perlu dicermati saat ini adalah efek rambatan dari kondisi tersebut. Bila nantinya pemerintah AS tak mampu menemukan titik terangnya hingga batas waktu 1 Juni 2023 maka bisa memicu krisis di sektor keuangan maupun ekonomi makronya.
Meski risiko krisisnya besar bagi Amerika Serikat, Amalia menekankan, efek rambatannya terhadap Indonesia tidak akan terlalu busa karena keterkaitan antara sektor finansia negara tersebut dengan Indonesia tidak besar. Ia juga optimistis permasalahan itu tak akan mengganggu target-target pertumbuhan ekonomi tanah air.
"Bisa saja kita isolasi transmisinya itu supaya efeknya tidak terlalu besar, kalau dari nanti economic crisis terus ujungnya ke financial crisis itu kita enggak ada terlalu hubungan financial dengan bank kita, Karena koneksi atau keterkaitan finansial market kita dengan finansial market AS enggak terlalu intens," ujarnya.
Menurut Amalia, persoalan lonjakan utang ini memang kerap kali dialami banyak negara, apalagi setelah menghadapi krisis Pandemi Covid-19. Indonesia pun turut menghadapi tekanan risiko utang setelah masa itu dengan rasio utang terhadap PDB yang hampir menyentuh level 40%.
"Jadi sudah biasa itu management fiscal yang normal di setiap negara. Begitu krisis jor-joran, habis-habisan, mau dari mana lagi kalau enggak dari utang, karena kan negara sumber pendapatannya selain dari pajak, PNBP, ya utang, tinggal di manage lagi levelnya," ungkap Amalia.
"Tapi, hal-hal yang menurut saya tidak terlalu urgent jangan membuat keresahan, jangan membuat itu menjadi sesuatu yang membuat resah, tinggal kita lihat aja," tegasnya.
Indonesia bisa menahan pengaruh dari situasi AS maupun negara lainnya. Asalkan ada pembenahan yang sangat fundamental dan berkelanjutan, antara lain komponen pendorong pertumbuhan ekonomi, inflasi hingga neraca transaksi berjalan.
Pemerintahan Presiden Joko WIdodo (Jokowi) sudah menjalankan pembenahan tersebut. Kini dipersiapkan sebuah perencanaan agar pembenahan bisa terus berlanjut hingga Indonesia menjadi negara maju.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Forum Ekonomi Dunia Bawa Kabar Horor: 5 Krisis Terjadi 2023