Eropa 'Teriak' Malapetaka, Panas Mendidih hingga Banjir Besar
Jakarta, CNBC Indonesia - Malapetaka melanda Eropa. Setelah sejumlah wilayah melaporkan cuaca panas ekstrem bak 'neraka', kini banjir besar melanda beberapa negara di Benua Biru.
Di Italia, misalnya, terjadi banjir dahsyat tak lama setelah negara tersebut melaporkan kondisi kekeringan parah di beberapa daerah. Keadaan darurat juga telah diumumkan di Boznia-Herzegovina setelah terjadi hujan lebat dan banjir.
Kondisi tersebut terjadi di beberapa negara Eropa yang terkena dampak cuaca ekstrem, baik banjir, kekeringan, gelombang panas, atau terkadang ketiganya.
Di Italia, banjir terparah selama satu abad menyebabkan kematian, cedera, dan kehancuran. Provinsi utara Emilia-Romagna adalah wilayah yang terkena dampak paling parah saat ini dengan lebih dari 20.000 rumah dan bisnis terendam banjir.
Genangan tersebut terjadi setelah periode kekeringan berkepanjangan yang telah memengaruhi sebagian besar Eropa selatan, termasuk sebagian Spanyol dan Portugal.
Hal ini berarti bumi telah menjadi kering dan keras sehingga ketika hujan deras turun, bukannya terserap, air malah mengalir dan menyebabkan banjir bandang.
Menurut pakar iklim Layanan Meteorologi Hungaria, Oliver Szentes, peristiwa ekstrem ini saja belum tentu merupakan akibat dari perubahan iklim, tetapi bisa saja terjadi.
"Kita berbicara tentang perubahan iklim ketika distribusi sesuatu berubah," katanya, dikutip dari Euronews, Jumat (19/5/2023).
"Tapi itu adalah proses jangka panjang. Jika kita memilih periode hujan lebat atau periode cuaca kering, itu bukanlah perubahan iklim. Jika fenomena tertentu menjadi lebih sering terjadi secara berkelanjutan, maka kita dapat berbicara tentang perubahan iklim."
Sebagai contoh, ada banyak hujan di ibu kota Hungaria, Budapest, baru-baru ini, tetapi situasinya tidak digambarkan ekstrem dan hujan seperti itu normal.
Namun banyak pengamat iklim menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang panas, kekeringan, dan banjir yang mereka klaim sebagai akibat dari perubahan iklim.
Danau Mengering
Sementara itu, sebuah tim peneliti internasional melaporkan bahwa beberapa sumber air tawar paling penting di dunia, dari Laut Kaspia antara Eropa dan Asia hingga Danau Titicaca di Amerika Selatan, kehilangan air dengan laju kumulatif sekitar 22 gigaton per tahun. Ini terjadi selama hampir tiga dekade.
Danau-danau tersebut kehilangan sekitar 17 kali volume Danau Mead. Ini merujuk ke waduk terbesar di Amerika Serikat yang menampung sekitar 28.5 juta kaki ekar (35 kilometer kubik) air.
Fangfang Yao, ahli hidrologi permukaan di University of Virginia yang memimpin penelitian di jurnal Science. Ia mengatakan 56% penurunan danau alami didorong oleh pemanasan iklim dan konsumsi manusia.
"Ilmuwan iklim umumnya berpikir bahwa daerah gersang di dunia akan menjadi lebih kering akibat perubahan iklim, dan daerah basah akan menjadi lebih basah, tetapi studi tersebut menemukan kehilangan air yang signifikan bahkan di daerah lembab," katanya, dikutip Reuters.
"Ini tidak boleh diabaikan," tegas Yao.
Para ilmuwan menilai hampir 2.000 danau besar menggunakan pengukuran satelit yang dikombinasikan dengan model iklim dan hidrologi. Mereka menemukan bahwa penggunaan danau yang tidak berkelanjutan oleh manusia, perubahan curah hujan dan limpasan, sedimentasi, dan kenaikan suhu telah menurunkan permukaan danau secara global 53% dari tahun 1992 hingga 2020.
"Hampir 2 miliar orang, yang tinggal di cekungan danau yang mengering, terkena dampak langsung," kutip media itu memuat Yao.
"Banyak daerah menghadapi kekurangan dalam beberapa tahun terakhir," tambahnya.
Studi itu juga menemukan penggunaan alam yang tidak berkelanjutan oleh manusia yang membuat mengeringkan danau, seperti Laut Aral di Asia Tengah dan Laut Mati di Timur Tengah. Sementara danau di Afghanistan, Mesir, dan Mongolia dilanda kenaikan suhu, yang dapat meningkatkan kehilangan air ke atmosfer.
(luc/luc)