Internasional

4 'Kiamat' Ancam AS, Utang Meledak-Ramai Perusahaan Bangkrut

sef, CNBC Indonesia
12 May 2023 05:01
Bendera Amerika Serikat

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) kini terancam malapetaka. Sejumlah hal mengancam negara itu.

Sudah sepekan ini, AS bergelut dengan ancaman gagal membayar utang akibat buntunya keputusan politik di negeri itu. Bencana disebut akan menyebar tak hanya di AS tapi global.

Tak hanya krisis perbankan, terbaru, AS harus menghadapi fakta ramai-ramai kebangkrutan melanda perusahaan di negeri itu sepanjang empat bulan awal 2023, tertinggi sejak 2010. Belum lagi fakta "buang dolar" alias dedolarisasi juga makin tren di belahan dunia. 

Bagaimana penjelasannya? Berikut dirangkum CNBC Indonesia, Jumat (12/5/2023).

1.Utang Mau Meledak

Utang AS membengkak. Negara itu bahkan kini berada dalam ancaman gagal bayar alias default.

Ini disebabkan belum disetujuinya kenaikan plafon batas utang pemerintah federal oleh parlemen, dari US$31,4 triliun. Pembahasan dengan DPR AS, yang dikuasai oposisi Partai Republik sejak 3 Januari, menjadi penyebab.

Pada dasarnya semua setuju batas utang naik. Namun Republik ingin hal itu diimbangi dengan pemangkasan pengeluaran.

Ketua DPR Kevin McCarthy mengusulkan untuk menaikkan batas utang dengan pemotongan defisit lebih dari US$4 triliun selama satu dekade, sebagian besar dari membatasi pengeluaran diskresioner di masa depan. Ini yang menjadi sumber persoalan.

Dalam laporan Al Jazeera, sebenarnya AS mencapai batas pinjamannya pada 19 Januari lalu. Sejak itu, Departemen Keuangan AS telah menerapkan sejumlah langkah untuk menghindari default karena kenaikan pagu tak kunjung diketok.

Namun, hanya dalam hitungan hari atau minggu, Washington mungkin akan segera tak mampu lagi menghindari kehabisan uang. Menteri Keuangan (Menkeu) AS Janet Yellen menyebut titik batas untuk menghindari default berada di tanggal 1 Juni 2023, di mana sebelum tanggal itu harus ada kesepakatan mengenai plafon batas atas utang.

Jika tak sejumlah dampak akan terjadi. Baik domestik atapun global.

Mengutip CNN International, jika default terjadi, sekitar 66 juta pensiun, pekerja cacat dan orang-orang yang menerima tunjangan sosial bulanan AS akan terdampak. Pembayaran rata-rata untuk pensiunan pekerja adalah US$ 1.827 (Rp 26,8 juta) per bulan pada tahun 2023.

Ini juga akan mengguncang dua juta pekerja sipil federal dan sekitar 1,4 juta anggota militer tugas aktif. Mereka akan mengalami penundaan pembayaran gaji.

Padahal menurut CBO, sekitar US$ 25 miliar gaji atau tunjangan harus diberikan ke anggota aktif militer, pegawai negeri dan pensiunan militer, veteran serta penerima 'Pendapatan Keamanan Tambahan'. Uang dikirim pada hari pertama setiap bulan.

Tak hanya itu, investasi Amerika akan terkena pukulan langsung. Contoh kasus adalah pasar mengalami minggu terburuk sejak krisis keuangan selama kebuntuan plafon utang 2011 setelah penurunan peringkat Standard & Poor.

Bahkan jika kebuntuan plafon utang diselesaikan segera setelah gagal bayar, saham bisa kehilangan sebanyak sepertiga dari nilainya. Menurut Moody's Analytics, hal itu akan menghapus sekitar US$ 12 triliun kekayaan rumah tangga.

Jika terjadi default, imbal hasil Treasury AS pasti akan naik untuk mengkompensasi peningkatan risiko bahwa pemegang obligasi tidak akan menerima uang yang mereka pinjam dari pemerintah.

Karena suku bunga pinjaman, kartu kredit, dan hipotek sering didasarkan pada hasil Treasury, biaya pinjaman uang dan pelunasan utang akan meningkat.

Jumlahnya di atas peningkatan biaya yang sudah dihadapi orang Amerika dari kenaikan suku bunga Federal Reserve. Keluarga dan bisnis juga akan lebih sulit mendapatkan persetujuan untuk jalur kredit karena bank harus lebih selektif dalam meminjamkan uang.

Belum lagi gagal bayar utang dapat memicu penurunan ekonomi, yang akan mendorong lonjakan pengangguran. Terutama saat AS sudah sudah berurusan dengan kenaikan suku bunga dan inflasi yang sangat tinggi.

Menurut Moody's, tingkat pengangguran akan melonjak menjadi sekitar 5%. Ekonomi akan berkontraksi hampir setengah persen.

"Itu (gagal bayar) juga akan berisiko merusak kepemimpinan ekonomi global AS dan menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan kami untuk mempertahankan kepentingan keamanan nasional kami," tegas Yellen dalam pernyataan terbaru menjelang pertemuan G7 di Jepang, Kamis (11/5/2023).

Asisten Direktur di Moody's Analytics, Bernard Yaros, juga tak memungkiri ancaman Yellen. Menurutnya skenario terburuk bila gagal bayar benar-benar terjadi adalah resesi dan krisis keuangan seperti apa yang terjadi 2008 silam.

"Saat pemotongan ini berhasil menembus perekonomian, pukulan terhadap pertumbuhan akan sangat luar biasa," katanya.

2.Krisis Perbankan

Krisis perbankan dimulai sejak Maret lalu. Tepatnya sejak kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), disusul Bank Silvergate dan Signature.

Awal Mei ini, First Republic Bank juga dilanda hal yang sama setelah sahamnya anjlok 50% pada bulan April lalu. Upaya penyelamatan pun dilakukan dengan diakuisisi oleh JPMorgan Chase & Co.

Berjatuhannya bank-bank di ini tidak terlepas dari suku bunga telah meningkat tinggi di negeri Paman Sam itu. Suku bunga AS saat ini berada di kisaran 4,75% sampai 5%.

Suku bunga dinaikkan oleh bank sentral AS, Federal Reserve (Fed) karena tingginya inflasi. Salah satu faktornya adalah kelangkaan barang dan kenaikan harga akibat sanksi dan perang Rusia-Ukraina.

Namun kenaikan suku bunga sendiri telah mengikis nilai aset bank. Seperti obligasi pemerintah dan sekuritas yang didukung hipotek.

Padahal, sebagian besar obligasi membayar suku bunga tetap yang menjadi menarik saat suku bunga turun, menaikkan permintaan dan harga obligasi. Di sisi lain, jika suku bunga naik, investor tidak akan lagi memilih suku bunga tetap yang lebih rendah yang dibayarkan oleh obligasi, sehingga menurunkan harganya.

"Banyak bank meningkatkan kepemilikan obligasi mereka selama pandemi, ketika simpanan berlimpah tetapi permintaan dan imbal hasil pinjaman lemah," menurut Federal Reserve Bank of St. Louis.

"Bagi banyak bank, kerugian yang belum direalisasi ini akan tetap di atas kertas. Tetapi yang lain mungkin menghadapi kerugian nyata jika mereka harus menjual sekuritas untuk likuiditas atau alasan lain," tambahnya.

Sebenarnya dalam sebuah studi Maret 2023, sudah dipaparkan bagaimana 190 bank di AS memiliki terancam gagal. Dari jumlah itu, kini 12 bank dipersepsikan dalam posisi terancam bangkrut, ditandai dengan kejatuhan tajam harga-harga sahamnya.

"Penurunan baru-baru ini dalam nilai aset bank sangat signifikan meningkatkan kerapuhan sistem perbankan AS untuk menjalankan deposan yang tidak diasuransikan," tulis para ekonom dalam makalah baru-baru ini yang diterbitkan di Social Science Research Network, dikutip dari USA Today.

3.Perusahaan Bangkrut Rekor

Di tengah ancaman krisis bank, muncul lagi masalah lain. Ini terkait kebangkrutan perusahaan-perusahaan AS.

Data terbaru dirilis S&P Global Market Intelligence, Rabu (10/5/2023). Angka kebangkrutan saat ini, lebih tinggi dari empat bulan pertama setiap tahun, sejak 2010.

"Ada 54 petisi kebangkrutan perusahaan pada April, turun dari 70 pada Maret," kata S&P Global.

"Namun, hitungan year-to-date lebih dari dua kali lipat menjadi 236 dari tahun lalu," jelasnya lagi.

Perusahaan sektor consumer discretionary, menghasilkan produk kebutuhan sekunder ataupun tersier, mengalami jumlah kebangkrutan yang lebih tinggi daripada sektor lain mana pun pada tahun 2023.

"Dengan pengecer Bed Bath & Beyond yang pernah sukses besar, di antara korban terbaru," tamah S&P Global.

Mengutip Reuters berikut sejumlah perusahaan yang mengalami kebangkrutan di 2023, dengan kewajiban lebih dari US$ 1 miliar.

Whittaker, Clark & Daniels Inc

Pemasok bedak mengajukan perlindungan kebangkrutan. Perusahaan "banjir" tuntutan hukum karena tudingan produk bedaknya menyebabkan paparan asbes dan kanker.

Bed Bath & Beyond

Bed Bath & Beyond pun mengajukan perlindungan kebangkrutan. Ini setelah pengecer barang rumah tangga itu gagal mendapatkan dana untuk tetap bertahan.

LTL LLC

Anak perusahaan Johnson & Johnson ini juga mengajukan perlindungan kebangkrutan untuk kedua kalinya. Perusahaan rencana melakukan reorganisasi dengan usulan penyelesaian US$8,9 miliar kepada hakim paling cepat 14 Mei.

SVB Financial Group

SVB Financial Group mengajukan perlindungan kebangkrutan untuk mencari pembeli asetnya. Ini beberapa hari setelah unit lamanya Silicon Valley Bank (SVB) diambil alih oleh regulator AS.

Diamond Sports Group

Diamond Sports Group yang menyediakan siaran televisi lokal untuk hampir setengah dari pertandingan NBA, NHL dan MLB, mengajukan perlindungan kebangkrutan. Perusahaan terjebak di antara perjanjian hak siar yang mahal dan kebiasaan memotong kabel pemirsa olahraga.

Avaya Inc

Perusahaan teknologi Avaya juga mengajukan kebangkrutan. Namun mendapatkan pembiayaan sebesar US$780 saat merestrukturisasi bisnisnya.

Serta Simmons Bedding LLC

Pembuat kasur Serta Simmons Bedding mengajukan perlindungan kebangkrutan. Ini upaya terakhir perusahaan untuk menghilangkan sebagian besar utangnya.

Party City Holdco Inc

Pengecer perlengkapan pesta mengajukan perlindungan kebangkrutan. Hal tersebut dilakukan karena inflasi yang terus-menerus tinggi berdampak pada pengeluaran konsumen

Halaman 2>>>> Bye-Bye Dolar 

4.Dedolarisasi

Ancaman lain yang bisa menjadi "malapetaka" baru bagi AS adalah fenomena dedolarisasi. Pasalnya, greenback mulai ditinggalkan banyak negara.

Keperkasaan dolar AS yang sudah berlangsung sejak 1920an atau lebih dari 100 tahun pun terancam. Karena banyak negara yang ingin terlepas dari "penjajahan" dolar.

Sejumlah fakta menunjukan bagaimana AS tak dipakai lagi oleh China & Brasil, sejak Maret. Di mana keduanya sepakat untuk tidak lagi menggunakan dolar AS dan beralih menggunakan mata uang mereka sendiri, yuan dan real.

Kesepakatan antara China dan Brasil sendiri bernilai sangat besar, dengan total menembus US$ 171,49 miliar. Artinya, ada permintaan dolar sebesar US$ 171 miliar yang hilang dalam perdagangan global.

Belum lagi, negara aliansi BRICS yang juga bersiap untuk meninggalkan dolar AS serta euro Eropa untuk melakukan perdagangan antarnegara. Saat ini aliansi negara itu dalam proses menciptakan alat pembayaran baru.

Di sisi lain, India juga telah mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023. Salah satunya dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA).

Para negara tetangga RI pun tak ketinggalan dengan rencana dedolarisasi . Ini melalui local currency transaction (LCT).

Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah meneken kerjasama transaksi pembayaran lintas batas. Ini melalui kode QR, fast payment, data, hingga transaksi mata uang lokal.

Terbaru, data Reuters dikutip Jumat (12/5/2023), menunjukan bagaimana China di bulan Mei, secara dramatis meningkatkan penggunaan yuan untuk membeli komoditas Rusia selama setahun terakhir. Ini termasuk hampir semua pembelian minyak, batu bara, dan beberapa logam denna mata ung Yuan.

Menurut beberapa esksekutif perdangan, peralihan ke yuan untuk membayar sebagian besar perdagangan komoditas sekitar US$88 miliar. Di Maret, renminbi juga menjadi mata uang yang paling banyak digunakan untuk transaksi lintas batas di China, menyalip dolar untuk pertama kalinya menurut data resmi.

Meskipun demikian, pangsanya sebagai mata uang pembayaran global tetap kecil di 2,5% merujuk SWIFT. Sementara dolar AS masih 39,4% dan euro 35,8%.

"Jangka panjang karena lebih banyak negara bergabung ... untuk mengurangi risiko paparan dolar. Terutama setelah mereka melihat apa yang dilakukan AS. Sanksi terhadap Rusia," kata ahli strategi investasi senior di BNP Paribas Asset Management di Hong Kong, Chi Lo.

"Ini adalah perkembangan jangka panjang yang membentang dalam satu atau dua, bahkan tiga dekade mendatang," tambahnya.

Next Page
Bye-Bye Dolar
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular