Nasib Batu Bara RI di Tengah Rencana Jokowi Matikan PLTU

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
27 April 2023 17:35
Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Kapal tongkang Batu Bara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia berencana untuk mematikan seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara pada 2050 mendatang. Hal ini juga sebagai upaya untuk mencapai netral karbon atau Net Zero Emissions (NZE).

Namun di sisi lain, Indonesia juga memproduksi ratusan juta ton batu bara per tahunnya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi batu bara pada tahun 2023 ini mencapai 695 juta ton, dengan proyeksi kebutuhan domestik sebesar 177 juta ton dan 518 juta ton untuk ekspor.

Lantas, bagaimana dengan nasib batu bara RI ke depannya?

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai bahwa industri batu bara RI masih bergantung pada sejumlah isu, antara lain
pengembangan teknologi penangkapan, pemakaian, dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Usage and Storage (CCUS), khususnya oleh PT PLN (Persero), sehingga ekonomis untuk dikembangkan.

Selain itu, adanya kepastian pengganti sumber batu bara di PLTU berupa biomassa alias co-firing PLTU menurutnya juga akan menentukan nasib batu bara ke depannya.

"Ini kan jadi tugas besar PLN dan dia telah melakukan bagaimana pengembangan terhadap CCUS seperti apa, sehingga keekonomiannya seperti apa. PLN juga melakukan co-firing, mencampur biomassa terhadap PLTU," jelas Singgih kepada CNBC Indonesia dalam program 'Mining Zone', dikutip Kamis (27/4/2023).

Sampai saat ini, Singgih mengugkapkan PLN terus mengembangkan co-firing terhadap 34 PLTU dan akan terus diingkatkan pada 52 PLTU di Indonesia.

"Upaya-upaya lain melalui co-firing yang dilakukan oleh PLN terhadap 34 PLTU, bahkan 52 PLTU untuk menyambut biomassa dalam PLTU batu bara," tandas Singgih.

Selain itu, menurutnya rencana pemerintah untuk mengembangkan hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau methanol juga berpengaruh pada kelanjutan industri batu bara di masa depan.

Hilirisasi batu bara menjadi DME atau methanol ini diharapkan bisa mengurangi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG).

"Pemerintah juga mencoba mengembangkan hilirisasi batu bara yang diupayakan semaksimal mungkin. Upaya-upaya ini dilakukan untuk terus menuju Net Zero Emissions di 2060," tambahnya.

Sebagai informasi, analisis dari lembaga kajian TrcansitionZero mengungkapkan bahwa kebutuhan dana untuk memensiunkan PLTU batu bara di Indonesia cukup besar. RI paling tidak memerlukan US$ 37 miliar atau setara Rp 569 triliun (kurs rupiah Rp 15.396 per dolar AS) untuk menghentikan 118 pembangkit listrik batu baranya lebih awal.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa dengan menghentikan PLTU batu bara Indonesia pada tahun 2040, paling tidak akan menghasilkan penghematan emisi sekitar 1,7GtCO2, setara dengan hampir tiga tahun emisi tahunan Indonesia.

PT PLN (Persero) sendiri mempunyai target nol bersih pada 2060 dan Indonesia memiliki sejumlah tujuan iklim yang berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik.

Namun, struktur pasar listrik, khususnya Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) yang dikombinasikan dengan subsidi bahan bakar fosil, telah lama menjadi kendala dalam penerapan energi terbarukan.

Selain itu, ketergantungan RI akan batu bara memang cukup besar, bahkan sekitar 70% listrik domestik dihasilkan dari batu bara pada tahun 2021. Indonesia juga merupakan pengekspor batu bara termal terbesar secara global.

Adapun, sektor ini mempekerjakan sekitar 250.000 orang, yang sebagian besar adalah pekerja terampil rendah. Namun, analisis tersebut menemukan bahwa mengganti PLTU batu bara Indonesia dengan tenaga surya akan menciptakan 5 pekerjaan baru untuk setiap hilangnya 1 pekerjaan langsung di pembangkit listrik, dengan catatan bahwa peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang akan menjadi bagian penting dari rencana transisi.

Seperti diketahuiu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah resmi melarang pembangunan baru PLTU berbasis batu bara. Tak hanya itu, Presiden pun meminta Menteri untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran atau memensiunkan PLTU yang masih beroperasi saat ini.

Kebijakan tersebut resmi tertuang dalam Peraturan Presiden No.112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik.

Peraturan Presiden ini ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 13 September 2022 dan berlaku efektif pada saat diundangkan yakni sama seperti tanggal penetapan, 13 September 2022.

Adapun kebijakan tersebut ditujukan dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 3. Pada Pasal 3 (1) berbunyi:

"Dalam rangka transisi energi sektor ketenagalistrikan, Menteri menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral."

Namun di sisi lain, pada ayat 4 disebutkan bahwa pengembangan PLTU baru dilarang, kecuali salah satunya bagi PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini.

Indonesia sendiri telah merencanakan untuk mencapai netral karbon atau Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos Bayan Ramal Batu Bara Masih Idola Sampai 30 Tahun Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular