
Nafsu Besar Indonesia Mandiri Energi Sebatas Mimpi?

Realisasi lifting minyak bahkan mersoot tajam dari sebesar 1,037 juta bpd pada 2004 menjadi 711,3 ribu bpd pada akhir pemerintahannya pada 2013.
Pada era Jokowi, lifting minyak anjlok dari 794 ribu bpd pada 2014 menjadi 612,3 ribu pada 2022.
Pada tahun ini, lifting minyak bahkan hanya ditargetkan sebesar 660 ribu bpd. Target tersebut semakin menjauh dari ambisi 1 juta bpd.
Tidak hanya lifting minyak, lifting gas juga terus anjlok. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia bahkan sudah tidak mampu memproduksi gas sebesar 1 juta barel setara minyak per hari (mboepd).
Kondisi tersebut membuat impor LPG Indonesia melonjak. Data Kementerian ESDM juga menunjukkan volume impor LPG terus membengkak dari 1,62 juta ton pada 2010 menjadi 6,34 juta ton pada 2021.
Pada 2021, jumlah penjualan LPG mencapai 8,55 juta ton. Dari jumlah tersebut hanya 1,90 juta ton yang diproduksi dalam negeri sementara 6,34 juta ton atau 74% adalah impor.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan sangat sulit bagi Indonesia untuk mandiri energi secara sepenuhnya atau impor.
"Kalau dimaksudkan mandiri energi kita produksi energi sendiri dan tidak impor, menurut hemat saya agak sukar," tutur Fabby, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan kebutuhan energi Indonesia masih sangat tinggi untuk dua dekade mendatang sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk.
"Sumber daya energi fossil kita terbatas dan semakin menurun. Misalnya minyak bumi yang tersisa 8-10 tahun lagi dengan tingkat produksi yang ada sekarang. Bisa dipastikan impor minyak dan BBM akan semakin meningkat seiring dengan menurunnya produksi minyak bumi," imbuhnya.
Dia menambahkan Indonesia secara bertahap bisa mengurangi impor bahan bakar fosil. Di antaranya adalah dengan memanfaatkan bahan bakar nabati. Terlebih, Indonesia adalah produsen terbesar untuk minyak sawit mentah (CPO).
Senada, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro juga mengingatkan sangat sulit bagi Indonesia untuk mandiri sepenuhnya dalam ketahanan energi.
"Untuk mandiri kemungkinan tidak dapat sepenuhnya. Konsumsi kita telah melampaui kemampuan produksi, terutama untuk minyak. [Gas terutama untuk LPG kita juga sekitar 75% dipenuhi dari impor," jelasnya.
Besarnya imporBBM saat ini merupakan kemunduran besar jika dibandingkan pada 1980n. Indonesia pernah menjadi eksportir minyak pada periode 1970-awal 1980an.
Pada awal 1980an, lifting minyak Indonesia menembus 1,5-1,6 juta bpd.
Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintas Sejarah menjelaskan komposisi industri migas (pengolahan minyak) pada PDB Indonesia meningkat dari 0,6% pada 1975 menjadi 5% pada 1985.
Nilai ekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada 1981-1982 dengan rata-rata tahunan mencapai US$ 14,6 miliar. Angkanya merosot tajam menjadi US$ 7,7 miliar pada 1985.
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan menjelaskan anjloknya lifting minyak gas merupakan dampak dari natural decline dan berkurangnya eksplorasi.
"Selama belum ada penemuan besar lagi yang baru ya tidak akan naik signifikan liftingnya. Tiap tahun kan ada natural decline sehingga kalau mau liftingnya naik ya harus dicari sumber baru," tutur Tumbur, kepada CNBC Indonesia.
Dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), aktivitas eksplorasi pada 2022 mencakup 30 sumur.
Eksplorasi rencananya akan ditingkatkan pada tahun ini menjadi sebanyak 57 sumur. Meskipun meningkat, jumlahnya jauh berkurang pada periode sebelumnya. Merujuk data APBN 1982/1983, pengeboran baru dilakukan terhadap 179 sumur pada 1980.
Selain eksplorasi, nilai investasi di sektor migas juga turun dari sekitar US$ 1 miliar menjadi US$ 0,6 miliar pada 2021.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae)
[Gambas:Video CNBC]