Bukan Subsidi Kendaraan Listrik, Ini Lebih Penting Pak Jokowi

Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
21 February 2023 13:35
Suasana kemacetan di jalan TB Simatupang pasca banjir menggenangi jalan tersebut, Jakarta, Selasa, (7/2/2023). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Suasana kemacetan di jalan TB Simatupang pasca banjir menggenangi jalan tersebut, Jakarta, Selasa, (7/2/2023). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kritik keras terkait wacana pemberian insentif dan subsidi kendaraan listrik oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang dari para pengamat transportasi.

Mereka menilai kucuran dana negara untuk pembelian kendaraan pribadi ini tidak tepat sasaran. Terlebih, insentif dan subsidi kendaraan pribadi diberikan dengan uang negara di saat pembangunan transportasi massal Indonesia bersumber dari utang luar negeri.

Hal ini disuarakan oleh Pengamat Transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang kepada CNBC Indonesia, Senin (20/2/2023). Menurutnya, meskipun pemerintah mengatakan subsidi kendaraan listrik berasal dari uang hasil pajak, tetap saja itu adalah bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat luas bukan malah membantu golongan tertentu yang dianggap mampu.

"Orang beli kendaraan itu sifatnya sudah privat kenapa dikasih subsidi, meskipun itu dari uang pajak kendaraan atau bea cukai, sebenarnya sama saja itu kan hak negara, untuk dijadikan APBN itu kan juga bisa," ujar Deddy.

Seperti diketahui, Pemerintahan Presiden Jokowi makin serius merealisasikan kebijakan pemberian subsidi dan insentif kendaraan listrik. Kabarnya besarannya cukup fantastis berkisar Rp 7 juta per unit untuk motor listrik. Presiden Jokowi mengatakan, insentif tersebut kini masih dalam tahap pengkajian dan penghitungan di Kementerian Keuangan. Beredar kabar bahwa untuk pembelian mobil listrik sendiri, pemerintah berencana untuk memberikan paket insentif berupa pengurangan pajak.

Menurut Deddy kebijakan pemerintah dalam memberikan insentif dan subsidi pada kendaraan listrik ini kurang tepat. Pasalnya, kebijakan ini hanya akan menambah jumlah kendaraan pribadi di jalanan dan semakin memperparah kemacetan yang akhir-akhir ini terus meningkat. Malah menurut Deddy seharusnya pemerintah fokus pada upaya mengurai kemacetan, salah satunya dengan membangun transportasi massal yang selama ini masih sangat minim jumlahnya.

"Kurang tepat, karena di lain sisi untuk sektor lain kita masih memerlukan dana, ambil contoh angkutan umum kita selalu butuh dana. Sedangkan untuk kebutuhan privat seperti subsidi BBM atau kendaraan listrik tanpa dikasih subsidi pun macetnya luar biasa khususnya di Jabodetabek, juga mungkin di kota besar lain seperti Medan, Semarang, Makassar itu kan sudah macet karena minimnya sarana dan prasarana transportasi umum massal, sangat-sangat minim," jelasnya.

Belum lagi, tahun ini pemerintah menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik, yang itu artinya kendaraan pribadi, sebesar Rp 5 triliun. Sedangkan di saat yang bersamaan Indonesia harus utang Rp 8,3 triliun kepada Cina karena masalah pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Seperti diketahui, pihak Indonesia dan China telah menyepakati besaran pembengkakan biaya (cost overrun) proyek tersebut sebesar US$ 1,2 miliar atau Rp 18 triliun.

Untuk itu, Deddy menilai ini merupakan kondisi yang memprihatinkan. Pasalnya dapat terlihat bahwa pemerintah salah langkah dalam memetakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dimana uang APBN yang seharusnya digunakan untuk masyarakat luas malah diperuntukkan untuk golongan tertentu sedangkan masyarakat bawah yang butuh transportasi publik malah pendanaan pembangunannya bersumber dari utang ke luar negeri.

"Sangat miris ya orang yang mau beli mobil pasti orang mampu, beli motor juga mampu, mau diberikan insentif itu kan sia-sia, sayang lah duitnya, apalagi itu anggarannya Rp 5 triliun itu kan sangat besar. Di samping itu pembangunan kereta cepat butuh dana, kemarin malah bengkak Rp 18 triliun sementara kita punya uang Rp 5 triliun malah diberi subsidi, hal seperti ini yang malah nggak nyambung sebenarnya," jelasnya.

"Untuk pembangunan angkutan umum massal MRT LRT ngutang ke Jepang, terus ditawarkan juga ke Inggris, kalau untuk pembangunan angkutan massal selalu ngutang, cari KPBU, tapi kalau untuk subsidi nggak, diberikan dari APBN, apalagi subsidi BBM mahal Rp 500 triliun, tidak produktif malah disubsidi, macet disubsidi," lanjutnya.

Seperti diketahui, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 mencapai Rp502,4 triliun. Dari sini Deddy melihat, lagi-lagi pemerintah tidak bisa memetakan kebutuhan masyarakat akan transportasi publik. Padahal, apabila dana tersebut diperuntukkan untuk membangun transportasi publik, hal tersebut sudah bisa menghasilkan berbagai layanan yang membuat masyarakat semakin meninggalkan kendaraan pribadi.

"Bayangkan kalau Rp 500 triliun itu untuk bangun angkutan massal kan orang akan mau menggunakan angkutan massal kalau jaringan MRT LRT banyak, itu sudah bisa bangun berapa puluh kilometer rel," jelasnya.

Deddy menilai, salahnya penempatan anggaran transportasi saat ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia masih berorientasi pada kendaraan pribadi seperti mobil dan motor, alih-alih berorientasi pada transportasi massal. Akibatnya, dana lebih condong digelontorkan pada pembangunan yang mendukung akses kendaraan pribadi seperti jalan tol, subsidi BBM, dan lain sebagainya ketimbang membangun fasilitas transportasi publik.

"Masyarakat kita, pemerintah kita, masih vehicle oriented, bukan transit oriented. Kalau transit oriented pasti mereka bangun angkutan massal," pungkasnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article APBN/APBD Banyak Dipakai Untuk Dinas & Rapat, Bisa Dibenahi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular