
Pak Jokowi, Jangan Ragu Paksa Eksportir Tukar Dolar ke Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah sebulan lebih sejak diumumkan, revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2019 tentang devisa belum jua rampung.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji bahwa pemerintah akan merampungkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor pada Februari 2023. Tampaknya para menteri ekonomi Jokowi bersama Bank Indonesia memerlukan waktu lebih panjang.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah - dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian dan Kementerian Perindustrian - bersama Bank Indonesia (BI) masih terus melakukan pembahasan mengenai revisi aturan DHE ini.
"Kita berharap ini selesai Februari ini," kata Sri Mulyani, dikutip Jumat (17/2/2023).
Di tengah-tengah pembahasan revisi ini, muncul pembahasan terkait dengan upaya mendorong eksportir agar tidak hanya menyimpan DHE di bank dalam negeri, tetapi juga menukarkannya ke dalam rupiah. Hal ini dinilai akan lebih memperkuat cadangan devisa serta stabilitas eksternal Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya telah memberikan sinyal adanya keinginan pemerintah bahwa devisa hasil ekspor (DHE) harus dikonversi ke rupiah.
Airlangga menjelaskan, saat ini pemerintah masih terus melakukan pembahasan aturan DHE, lewat revisi PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
"Sehingga eksportir itu tidak hanya parkir di Singapura, berutang di Singapura, escrow di Singapura. Tapi ini semua kita tarik ke Indonesia," jelas Airlangga.
Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa kewajiban konversi ke rupiah memiliki hal plus dan minus. Oleh sebab itu, BI akan terus melakukan diskusi dengan pemerintah.
"Untuk konversi ke rupiah, tentunya ada plus minus. Kami terus berdiskusi saya tidak ingin mendahului, setelah kami diskusi selesai akan kami komunikasikan ke Pak Menko," kata Perry, dalam Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (16/2/2023).
Lantas, apa yang membuat langkah pemerintah berat?
Sri Mulyani pernah berujar bahwa pembahasan revisi PP No. 1 Tahun 2019 ini harus dilakukan hati-hati. Pemerintah dan BI melakukan penilaian treshold nilai ekspor yang nantinya akan dikenakan DHE.
"Ini penting dalam mendesain supaya tidak ganggu ekspor," ujar Sri Mulyani.
Dia mengaku revisi aturan juga dilakukan dengan desain yang tidak bertentangan dengan rezim devisa bebas, terutama dengan aturan IMF dalam artikel 8.
Adapun, artikel 8 di dalam peraturan anggota IMF disebutkan bahwa anggota IMF harus menghindari kebijakan yang membatasi atau melarang pembayaran atau perpindahan dana terkait dengan transaksi internasional.
Kemudian, IMF meminta setiap anggota berjanji untuk bekerja sama dengan IMF dan dengan anggota lain untuk memastikan bahwa kebijakan anggota sehubungan dengan aset cadangan harus konsisten dengan tujuan mempromosikan pengawasan internasional yang lebih baik terhadap likuiditas internasional dan menjadikan hak penarikan khusus sebagai cadangan utama.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah memandang, peraturan DHE semestinya bisa dilakukan sederhana. Namun, masih ada 'keraguan' dari pemerintah dan BI.
"Pengaturan DHE sebenarnya tidak kompleks. Bisa sederhana. Saya melihat pemerintah dan BI masih terlalu mempertimbangkan, yang akhirnya justru membuatnya kompleks," jelas Piter.
Kemudian, dia menambahkan ketentuan DHE jika hanya mewajibkan dolar ekspor untuk tinggal beberapa bulan di perbankan domestik tidak akan efektif menambah pasokan dolar. Pada akhirnya, dolar milik eksportir tersebut tetap akan keluar juga.
"Yang seharusnya dilakukan adalah kewajiban menjual DHE (mengkonversi ke rupiah). Misalnya, saja 25 persen dari hasil ekspor mereka," tegas Piter.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eksportir Bawa Pulang Dolar, Siap-siap Diganjar Insentif !
