Internasional

2 Tahun Kudeta Tetangga RI, Narkoba hingga Eksodus Pekerja

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Kamis, 02/02/2023 21:40 WIB
Foto: REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua tahun sudah Myanmar mengalami kudeta. Pada Februari 2021, kelompok junta militer yang dipimpin Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan sipil yang saat itu dikuasai Aung San Suu Kyi.

Militer menganggap hal ini dilakukan lantaran adanya kecurangan pemilu yang dilakukan Suu Kyi dalam pemilihan sebelumnya. Suu Kyi juga didakwa melakukan beberapa pelanggaran, termasuk korupsi dan pelanggaran protokol Covid-19.

Kini, dua tahun setelah junta berkuasa, ada beberapa hal yang berubah di Negeri Seribu Pagoda itu. Tak hanya di tatanan politik, terjadi juga perubahan di bidang sosial ekonomi.


Berikut nasib Myanmar pasca kudeta sebagaimana dirangkum CNBC Indonesia, Kamis, (2/2/2023):

1. Perdagangan Narkoba

Penanaman opium di Myanmar telah mengalami lonjakan hingga 33% pada tahun 2022 lalu. Hal ini terjadi saat Myanmar berada dalam kekuasaan junta militer yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil negara sejak 2021 lalu.

Secara rinci, area budidaya opium pada tahun 2022 diperluas sepertiga menjadi 40.100 hektar. Sementara itu, perkiraan hasil rata-rata naik 41% menjadi hampir 20 kg per hektar, yang merupakan angka tertinggi sejak 2002.

"Negara Bagian Shan timur, yang berbatasan dengan China, Thailand, dan Laos, mengalami peningkatan budidaya terbesar, sebesar 39%," tulis laporan itu dikutip Reuters, Kamis (26/1/2023).

Nilai opium yang diproduksi setiap tahun di Myanmar dapat mencapai hingga US$ 2 miliar (Rp 30 triliun). Sebagian besar obat tersebut diselundupkan ke negara tetangga dan ke pasar global.

Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengatakan lonjakan ini 'terhubung langsung' dengan gejolak politik dan ekonomi di Myanmar sejak kudeta militer. Apalagi, kenaikan ini membalikkan tren penurunan produksi opium selama 6 tahun terakhir.

"Gangguan ekonomi, keamanan, dan tata kelola yang mengikuti pengambilalihan militer pada Februari 2021 telah menyatu, dan para petani di daerah terpencil yang seringkali rawan konflik... memiliki sedikit pilihan selain kembali ke opium," kata perwakilan regional UNODC, Jeremy Douglas.

Perekonomian Myanmar sendiri memang telah mengalami penurunan sejak kudeta. Ini ditandai dengan nilai mata uang kyat yang anjlok terhadap dolar dan harga makanan dan bahan bakar naik.

"Tanpa alternatif dan stabilitas ekonomi, penanaman dan produksi opium kemungkinan besar akan terus berkembang," kata manajer negara UNODC Myanmar, Benedikt Hofmann.

2. Kemiskinan dan Pengangguran

Bank Dunia melaporkan tahun lalu bahwa dampak Covid-19 dan setelah kudeta Myanmar telah menghapus hampir satu dekade kemajuan pengentasan kemiskinan di negara Asia Tenggara, dengan sekitar 40% populasi hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

"Ketimpangan diperkirakan makin memburuk, dengan mereka yang sudah miskin jatuh ke dalam kemelaratan yang lebih dalam," kata Bank Dunia dalam laporan ekonomi Myanmar yang diterbitkan pada Juli 2022.

Pengangguran juga merupakan masalah besar di negara ini. Diperkirakan 1,8 juta pekerjaan hilang pada tahun 2021 saja, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Laporannya pada Agustus 2022 mengatakan Myanmar tetap sangat terpengaruh oleh kehilangan pekerjaan yang berat dan meningkatnya defisit pekerjaan yang layak selama 18 bulan setelah kudeta.

Meskipun ada sedikit pemulihan dalam pekerjaan pada paruh pertama tahun 2022, laporan tersebut menyimpulkan bahwa lapangan kerja di Myanmar jauh di bawah level tahun 2020, dan bahwa kenaikan harga makanan dan bahan bakar telah memberikan tekanan lebih besar pada ekonomi serta mata pencarian.

3. Eksodus Pekerja

Sementara itu, selain pengangguran, para tenaga kerja terampil dan kerah putih dilaporkan mulai meninggalkan Myanmar dan pindah ke negara lain pasca kudeta.

Myoe, pria berusia 37 tahun, merupakan salah satunya. Salah satu pekerja di sektor telekomunikasi tersebut meninggalkan Yangon dan pindah ke Bangkok, Thailand pada Maret 2022.

"Saya sangat bersemangat dan menikmatinya meskipun saya stres setiap hari karena saya bekerja lepas tanpa penghasilan tetap," katanya kepada Channel News Asia, dikutip Rabu (1/2/2023).

Myoe menyebut tidak punya rencana untuk kembali ke kampung halamannya di Myanmar.

Hal yang sama juga dialami oleh Ye Thu Aung (38). Keluarganya mengoperasikan penginapan di kota pegunungan Kalaw, Negara Bagian Shan. Mereka biasa menyambut pelancong internasional dan domestik, tetapi itu berubah setelah kudeta.

"Ada begitu banyak masalah dan situasi yang sangat sulit bagi begitu banyak orang untuk bertahan hidup di negara kami. Sekarang, tidak ada yang datang dari luar negeri," ungkapnya.

Ye Thu Aung meninggalkan Myanmar pada Februari 2022 dan berharap menemukan pekerjaan atau peluang bisnis di ibu kota Thailand. Orang tua dan dua saudara kandungnya tetap tinggal di Kalaw untuk menjalankan wisma tamu.

Akhirnya, keluarga tersebut berencana untuk memindahkan bisnis mereka ke Thailand dan memberikan layanan perhotelan kepada para pelancong Myanmar.

"Bagi rakyat Myanmar, masa depan sulit untuk bertahan," katanya. "Ada begitu banyak orang yang menganggur di Myanmar. Jadi, anak-anak muda kita pergi ke luar negeri."


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Garuda Muda Putri Juara Ke-3 di Piala AFF U-19 Putri 2025