
Kesaksian Pilu Korban Aksi Kudeta di Tetangga RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekerja di Myanmar mulai putus asa. Sejak kudeta militer 1 Februari 2021, para tenaga kerja terampil dan kerah putih dilaporkan mulai meninggalkan Myanmar dan pindah ke negara lain di wilayah tersebut.
Myoe, pria berusia 37 tahun, merupakan salah satunya. Salah satu pekerja di sektor telekomunikasi tersebut meninggalkan Yangon dan pindah ke Bangkok, Thailand pada Maret 2022.
"Saya sangat bersemangat dan menikmatinya meskipun saya stres setiap hari karena saya bekerja lepas tanpa penghasilan tetap," katanya kepada Channel News Asia, dikutip Rabu (1/2/2023).
Myoe menyebut tidak punya rencana untuk kembali ke kampung halamannya di Myanmar.
Hidup di negara asing menantang bagi Myoe, yang tidak bisa berbahasa Thailand dan tidak memiliki penghasilan tetap atau izin kerja. Dia harus terus-menerus mengkhawatirkan apakah dia dapat membayar sewa tepat waktu, sambil mencari peluang kerja yang memungkinkannya bekerja secara legal di Thailand.
"Mereka tidak ingin tinggal di Yangon lagi. Mereka hanya meninggalkan semuanya di sana dan datang ke sini. Saya merasa seperti di rumah karena semua orang yang saya kenal ada di sini," tambahnya.
Hal yang sama juga dialami oleh Ye Thu Aung (38). Keluarganya mengoperasikan penginapan di kota pegunungan Kalaw, Negara Bagian Shan. Mereka biasa menyambut pelancong internasional dan domestik, tetapi itu berubah setelah kudeta.
"Ada begitu banyak masalah dan situasi yang sangat sulit bagi begitu banyak orang untuk bertahan hidup di negara kami. Sekarang, tidak ada yang datang dari luar negeri," ungkapnya.
"Saya sangat kecewa dengan situasi ini. Saya merasa seperti kita akan kehilangan masa depan kita di negara kita. Itu sebabnya saya mengubah rencana hidup saya untuk datang ke Bangkok."
Ye Thu Aung meninggalkan Myanmar pada Februari 2022 dan berharap menemukan pekerjaan atau peluang bisnis di ibu kota Thailand. Orang tua dan dua saudara kandungnya tetap tinggal di Kalaw untuk menjalankan wisma tamu.
Akhirnya, keluarga tersebut berencana untuk memindahkan bisnis mereka ke Thailand dan memberikan layanan perhotelan kepada para pelancong Myanmar.
"Bagi rakyat Myanmar, masa depan sulit untuk bertahan," katanya. "Ada begitu banyak orang yang menganggur di Myanmar. Jadi, anak-anak muda kita pergi ke luar negeri."
Meski memiliki dua gelar di bidang teknologi dan pengembangan bisnis, ditambah delapan tahun pengalaman di sektor perhotelan, Ye Thu Aung tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Bangkok. Seperti banyak ekspatriat Myanmar, dia tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Thailand dan hanya memiliki visa pelajar, yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
Sebelumnya, Bank Dunia melaporkan tahun lalu bahwa dampak Covid-19 dan setelah kudeta Myanmar telah menghapus hampir satu dekade kemajuan pengentasan kemiskinan di negara Asia Tenggara, dengan sekitar 40% populasi hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
"Ketimpangan diperkirakan makin memburuk, dengan mereka yang sudah miskin jatuh ke dalam kemelaratan yang lebih dalam," kata Bank Dunia dalam laporan ekonomi Myanmar yang diterbitkan pada Juli 2022.
Pengangguran juga merupakan masalah besar di negara ini. Diperkirakan 1,8 juta pekerjaan hilang pada tahun 2021 saja, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Laporannya pada Agustus 2022 mengatakan Myanmar tetap sangat terpengaruh oleh kehilangan pekerjaan yang berat dan meningkatnya defisit pekerjaan yang layak selama 18 bulan setelah kudeta.
Meskipun ada sedikit pemulihan dalam pekerjaan pada paruh pertama tahun 2022, laporan tersebut menyimpulkan bahwa lapangan kerja di Myanmar jauh di bawah level tahun 2020, dan bahwa kenaikan harga makanan dan bahan bakar telah memberikan tekanan lebih besar pada ekonomi serta mata pencarian.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Konsisten Jalankan Program TJSL, Waskita Raih 2 Penghargaan Ini