
Ada Tekanan dari 'VOC', Jokowi: Tak Akan Goyah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa Indonesia tak akan goyah atas kebijakan yang sudah dilakukan. Khususnya kebijakan dalam pelarangan kegiatan ekspor bijih nikel dan pengembangan hilirisasi di dalam negeri.
Seperti yang diketahui, pelarangan kegiatan ekspor bijih dan pengembangan hilirisasi di dalam negeri mendapat tekanan dari dunia tak terkecuali Uni Eropa (UE) yang membawa Indonesia ke dalam sengketa perdagangan dunia di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Presiden Jokowi menyatakan, mineral mentah menjadi program prioritas yang saat ini digencarkan pemerintah. Salah satunya dengan mengambil peran transisi energi bersih dan penurunan emisi karbon untuk mengurangi pemanasan global.
"Hilirisasi sumber daya alam salah satu prioritas investasi kita untuk menyambut ekonomi masa depan mengambil peran ke transisi energi bersih," ujar Presiden dalam acara Saratoga Investment Summit 2023, Kamis (26/1/2023).
Meski demikian, Jokowi mengaku bahwa program hilirisasi di dalam negeri juga menemui sejumlah tantangan dari beberapa negara di dunia. Namun mantan Wali Kota Solo tersebut tak akan goyah meskipun mendapat sejumlah tekanan. "Kita tidak akan pernah goyah lah tekanan-tekanan," ujarnya.
Menurut Jokowi, setelah pemerintah resmi menyetop ekspor bijih nikel ke luar negeri beberapa waktu lalu, pemerintah akan melanjutkan pelarangan ekspor komoditas mineral mentah seperti bauksit, timah dan tembaga. Dengan demikian, dapat meningkatkan nilai tambah dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
"Rangkaian pertemuan G20 di Bali kita dapat kepercayaan momentum ini dipergunakan untuk merebut investasi peluang ekonomi hijau seperti pengemabangan EBT, Mobil Listirk kawasan industri hijau dan industri yang ramah lingkungan," kata dia.
Kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel dan pengembangan hilirisasi sejatinya mampu mengerek nilai tambah ekspor Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan bahwa pada tahun 2022 ini, nilai tambah dari ekspor nikel ke luar negeri tembus US$ 33,8 miliar atau sekitar Rp504 triliun (kurs Rp 14.904 per US$).
"Ekspor produk turunan nikel tahun 2022 mencapai angka US$ 33,8 miliar, dampaknya sektor UMKM daerah penghasil nikel cukup signifikan," terang Septian Hario Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dalam BRI Microfinance 2023, Kamis (26/1/2023)
Tak sampai dinilai itu, Seto menargetkan nilai tambah ekspor nikel ke luar negeri akan naik pada tahun ini mencapai US$ 35 - US$ 38 miliar. "Ini bisa menggantikan (nilai) ekspor sawit yaang terbesar di Indonesia setelah batu bara," ungkap Seto.
Ini yang Bawa RI ke WTO
Terungkap, ternyata beberapa pihak yang menggugat Indonesia ke WTO adalah mantan penjajah Indonesia. Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Pokja Hilirisasi Mineral dan Batubara Kadin, Djoko Widajatno.
Menurut Djoko, anggota Uni Eropa termasuk negara-negara yang pernah menjajah RI di masa lampau. Oleh sebab itu, sikap yang dilakukan Uni Eropa tersebut hampir mirip seperti apa yang dilakukan VOC di masa penjajahan Belanda di Indonesia.
"Sekarang kejadiannya juga berulang lagi di mana Indonesia diberi anugerah oleh Tuhan melimpahnya nikel di bumi Indonesia terutama di Sulawesi dan di Maluku Utara di Papua yang merupakan komoditas yang baik untuk masa depan," kata dia dalam acara Closing Bell di CNBC Indonesia, dikutip Rabu (21/12/2022).
Djoko menyebut nikel sendiri diketahui bakal menjadi komoditas yang strategis di masa depan. Melalui sumber mineral ini, ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai akan terbangun. "Jadi negara-negara yang mencoba untuk masalahkan ekspor nikel ini latar belakangnya sebenarnya ingin menguasai sumber daya alam kita demi kemakmuran mereka tetapi mereka melupakan bahwa Pak Jokowi juga menyampaikan mari kita membangun ekonomi dunia dengan semangat kerja sama," kata dia
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hilirisasi Harga Mati, Jokowi Siap Perang Lawan WTO