Internasional

'Cawan Beracun' Ekonomi China, Risiko di Tengah Kebangkitan

luc, CNBC Indonesia
Jumat, 20/01/2023 14:30 WIB
Foto: Bendera China (AP Photo/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembukaan kembali ekonomi China yang ditandai dengan dicabutnya pembatasan ketat sebagai bagian dari strategi nol-Covid kini menjadi buah simalakama.

Ada dua sisi 'mata uang' yang tak terpisahkan sebagai imbas dari kebijakan pencabutan sejumlah pembatasan yang dimulai sejak Desember 2022.

Di satu sisi, pembukaan tersebut dipastikan kembali menggairahkan ekonomi China yang tertunduk lesu sepanjang tahun lalu. Namun, di sisi lain, bayang-bayang konsekuensi negatif menanti di depan mata.


Mengutip Financial Times, sejatinya tak ada yang mengira Presiden China Xi Jinping akan 'menyerah' begitu cepat dengan kebijakan nol-Covid-nya.

Kebijakan berani tersebut nyatanya mulai berdampak positif terhadap ekonomi China. Kekurangan tenaga kerja berkurang dan konsumen kembali berbelanja. Pembatasan terhadap pengembang properti juga telah dicabut, meski ada keraguan atas dugaan pelonggaran regulasi teknis.

Chairman Standard Chartered José Viñals mengatakan perekonomian China akan melejit pada paruh kedua 2023 karena perbedaan kinerja ekonomi Timur dan Barat.

Menurutnya, pembukaan ekonomi China telah meningkatkan sentimen di antara para ekonom bahwa gambaran pertumbuhan dan inflasi global mungkin tak separah yang ditakutkan selama ini.

"Pada paruh kedua tahun ini, saya pikir ekonomi China akan 'terbakar' dan itu akan menjadi sangat, sangat penting bagi seluruh dunia," katanya kepada CNBC di Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, Swiss.

"Ini tidak hanya datang dari pembukaan kembali dari Covid tetapi juga datang dari dukungan yang diberikan pemerintah dengan kebijakan fiskal mereka, dukungan untuk sektor properti yang sangat penting, dan juga mengurangi intensitas regulasi atau tindakan keras regulasi terhadap beberapa sektor seperti sektor TI. Jadi saya pikir semua hal itu akan menjadi hal positif yang sangat penting."

Hal yang sama juga diungkapkan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann awal pekan ini yang mengatakan pembukaan kembali itu "sangat positif" dalam perjuangan global untuk mengatasi inflasi yang setinggi langit.

Sementara itu, Capital Economics memperkirakan China bakal mampu mencetak pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% tahun ini, naik dari 3% pada 2022. Kembalinya ekonomi China ke 'jalur' yang benar juga diyakini memiliki implikasi global yang signifikan.

Permintaan global akan didukung oleh kebangkitan aktivitas konsumen dan investasi China yang sempat melemah. Eksportir barang dan tujuan wisata populer China, terutama yang berada di Asia Tenggara dan Timur, akan diuntungkan.

Sebagai konsumen komoditas terbesar di dunia, pemulihan negara ini juga akan memberikan dorongan bagi pengekspor logam dan energi. Dengan permintaan yang kuat, karena China memasok sekitar 15% dari ekspor barang dagangan dunia, tekanan rantai pasokan global cenderung makin berkurang.

Dampak Negatif

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pembukaan kembali ekonomi China bak mata uang yang memiliki dua sisi saling berlawanan.

Kebijakan China yang makin longgar tersebut telah membawa kekhawatiran terkait inflasi dan biaya hidup yang berpotensi kontradiktif dengan upaya sejumlah bank sentral yang kian ketat dalam kebijakan moneternya.

Raghuram Rajan, mantan gubernur Reserve Bank of India menilai jika permintaan China untuk barang lain mulai meningkat dan menciptakan tekanan yang lebih besar pada harga komoditas, misalnya gas alam, maka itu akan memberi tekanan pada Eropa karena gas alam. Pasalnya, Eropa juga bersaing di pasar yang sama untuk gas alam cair (LNG).

"Jadi pembukaan China [adalah] kabar baik secara keseluruhan, tetapi berpotensi, dampak inflasi - mungkin ada beberapa," katanya kepada CNBC.

Badan Energi Internasional (IEA) juga telah memperingatkan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa mungkin menghadapi biaya yang lebih tinggi ketika ingin membeli gas alam tahun ini karena akan ada lebih banyak persaingan untuk komoditas tersebut. Adapun, inflasi telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi warga Eropa selama setahun terakhir, yang sebagian didorong oleh tagihan energi.

Berbicara dalam panel yang dimoderatori CNBC di WEF Davos, Satish Shankar, Managing Partner Asia-Pasifik (APAC) di Bain & Company, mengatakan risiko yang sama terkait pembukaan kembali ekonomi China.

"Saya pikir pembukaan China akan meningkatkan konsumsi energi global. Itu dapat menyebabkan inflasi," tuturnya.

Felix Sutter, presiden Kamar Dagang Swiss-China mengatakan pada panel yang sama bahwa kebutuhan energi dan kebutuhan bahan mentah China akan bersaing dengan kebutuhan global, termasuk Eropa.

"Saya melihat relaksasi inflasi saat ini, [tetapi] kami melihat lebih banyak tekanan pada inflasi di kuartal tiga [2023]," katanya.

Di luar dampak ekonomi, pembukaan ekonomi China yang ditandai dengan pelonggaran pembatasan Covid juga menimbulkan risiko kesehatan yang tidak main-main. Hal tersebut akan makin 'ngeri' seiring dengan libur tahun Baru Imlek yang mendorong jutaan warga China mudik.

China telah melaporkan lonjakan besar rawat inap yang disebabkan Covid-19 dalam sepekan hingga 15 Januari ke level tertinggi sejak pandemi dimulai. Hal itu terungkap dalam laporan mingguan yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kamis (19/1/2023).

Jumlah orang yang dirawat di rumah sakit karena penyakit tersebut di China naik 70% menjadi 63.307 dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Ini adalah angka mingguan tertinggi yang dilaporkan China sejak Covid-19 pertama kali muncul lebih dari tiga tahun lalu.

Hal itu pun telah disadari Xi Jinping. Dia menyatakan prihatin tentang situasi pandemi di perdesaan China. Hal tersebut terungkap dalam laporan kantor berita Xinhua jelang mudik jutaan orang untuk merayakan Tahun Baru Imlek.

Pemimpin China itu juga membela kebijakan nol-Covid-nya, yang dicabut bulan lalu setelah melumpuhkan ekonomi dan memicu protes nasional, dengan mengatakan itu adalah "pilihan yang tepat".

"Pencegahan dan pengendalian epidemi telah memasuki tahap baru, dan kita masih dalam periode yang membutuhkan upaya besar," kata Xi, menekankan perlunya "mengatasi kekurangan dalam pencegahan dan pengendalian epidemi di daerah perdesaan".

Otoritas transportasi memperkirakan bahwa lebih dari dua miliar perjalanan akan dilakukan selama periode 40 hari antara Januari dan Februari, hampir dua kali lipat jumlah tahun lalu dan 70% dari tingkat prapandemi.

Media negara juga melaporkan bahwa 30,2 juta orang melakukan perjalanan nasional pada Rabu saja.

Adapun, dalam sebuah penelitian yang dilakukan lembaga pembuat prediksi Airfinity, hasil ini didasarkan pada data dari provinsi regional China yang dikombinasikan dengan tingkat infeksi yang dialami oleh negara-negara yang melonggarkan pembatasan Covid-19.

"Perkiraan kami memperkirakan beban yang signifikan pada sistem perawatan kesehatan China untuk dua minggu ke depan," tambah Matt Linley, direktur analitik Airfinity.

"Kemungkinan banyak pasien yang dapat diobati bisa meninggal karena rumah sakit yang penuh sesak dan kurangnya perawatan."

Lembaga itu melaporkan kematian diperkirakan mencapai puncaknya pada 36.000 per hari pada 26 Januari mendatang. Jumlah ini naik dari perkiraan kematian kami sebelumnya yang mencapai 25.000 per hari.

Akhirnya, pembukaan kembali ekonomi China secara mendadak tersebut tak hanya memunculkan optimisme, tetapi juga kewaspadaan. Dalam kasus ini, idiom blessing in disguise (berkah tersembunyi) tampaknya tak berlaku.

Sebaliknya, poisoned chalice (cawan beracun) menjadi idiom yang lebih tepat untuk menggambarkan sejumlah risiko yang terus mengintai di balik kebangkitan ekonomi China.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Covid-19 Kian Dianggap Biasa, Masyarakat Diminta Tetap Waspada