Jalan di DKI Bakal Berbayar, PNS-Pekerja Swasta Kena Getahnya

News - Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
19 January 2023 10:45
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di gerbang Electronic Road Pricing (ERP) saat uji coba di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan uji coba coba sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) secara terbatas pada 14 November 2018. Gerbang ERP di jalan Medan Merdeka Barat ini merupakan yang ketiga dipasang untuk uji coba pelaksanaan jalan berbayar. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Sejumlah kendaraan bermotor melintas di gerbang Electronic Road Pricing (ERP) saat uji coba di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (13/11/2018). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan uji coba coba sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) secara terbatas pada 14 November 2018. Gerbang ERP di jalan Medan Merdeka Barat ini merupakan yang ketiga dipasang untuk uji coba pelaksanaan jalan berbayar. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menyiapkan regulasi jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP). Namun ternyata, kebijakan ini bisa memicu masalah baru bagi pekerja di DKI yang bukan bermukim di DKI. 

Salah satu alasan yang didorong Pemda untuk penerapan ERP ini adalah mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum. Kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi kemacetan yang ada di sejumlah ruas jalan. Hanya saja, ketersediaan transportasi umum memadai jadi pertanyaan mengemuka.

Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno melihat kendala bagi warga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) yang bekerja di Jakarta tapi belum memiliki jaringan angkutan umum dari tempat karyawan tinggal atau bermukim.

"Seperti diketahui layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99% lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum," kata Djoko yang juga sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakat MTI, dalam keterangan dikutip Kamis (19/1/2023).

Beda dengan kota Jakarta layanan transportasi umum sudah menjangkau 92% wilayahnya. Bahkan, hingga jalan-jalan kecil di perkampungan Kota Jakarta sudah ada layanan angkot Jaklingko.

Sehingga dia meminta pemerintah untuk menyediakan umum di Bodetabek seperti Trans Pakuan di Bogor atau Tayo di Tangerang, untuk menyelesaikan first mile, last mile dan konektivitas.

Dia mengusulkan penerapan ERP ini dilakukan pada tahun depan (2024), sambil menunggu pengoperasian LRT Jabodebek beroperasi tahun ini yang bisa menambah kapasitas angkutan umum). Serta bisa memberikan sosialisasi yang lebih.

Secara umum dia setuju dengan penerapan ERP ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi kemacetan di Jakarta.Terlebih Pemda bisa mendapatkan retribusi dari adanya ERP ini, yang bisa digunakan untuk mendanai subsidi angkutan umum.

Proyek Cari Untung

Sementara itu, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memperingatkan Pemerintah Daerah (Pemda), ERP bukan proyek untuk mengeruk keuntungan.

"ERP bukan alat sapu sapu jagat dalam mengatasi kemacetan dan bukan sarana menaikkan pendapatan," tulis Masyarakat Transportasi Indonesia, dalam laporan penyampaian pendapatnya, dikutip Kamis (19/1/2023).

MTI berpandangan tarif ERP harus dipahami dan direncanakan bukan dalam rangka proyek yang memerlukan pengembalian modal, serta mencari keuntungan. Tapi mengganti kerugian sosial, ekonomi, kesehatan, waktu dan lainnya yang diakibatkan kemacetan.

"Pendapatan ERP dapat dipergunakan sebagai opsi pembiayaan untuk mendorong perbaikan, pengembangan, dan operasi angkutan umum serta kendaraan tidak bermotor," tulis MTI.

Selain itu MTI juga meminta pertimbangan penetapan tarif ERP mempertimbangkan dampak negatif terhadap penduduk dalam kawasan yang berada di koridor. Sehingga perlu mempertimbangkan besaran tarif tertentu bagi golongan masyarakat tersebut.

Parameter penentuan tarif ERP harus didasarkan pada simulasi biaya transportasi yang harus ditanggung pengguna jalan. Serta Efektivitas tarif ERP dalam mendorong peralihan moda sangat tergantung dalam perbandingan biaya peralihan moda yang harus ditanggung pengguna jalan.

"Apabila biaya langsung maupun tidak langsung yang harus ditanggung pengguna kendaraan pribadi untuk melakukan peralihan moda masih lebih tinggi dari tarif ERP ditambah biaya operasional kendaraan pribadi maka ERP berpotensi tidak efektif," tulis MRTI.

Di sisi lain, apabila perhitungan dan penerapan tarif tidak mempertimbangkan strategi pembenahan angkutan umum massal untuk akses dari dan ke wilayah terdampak. maka ERP berpotensi menimbulkan resistensi di masyarakat.

Melansir Detikcom, Sebelumnya Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dinas Perhubungan Zulkifli mengungkapkan rentang besaran tarif penerapan EPR yang diusulkan, dari Rp 5.000 - Rp 19.000.

Sedangkan Djoko Setijowarno meminta DKI Jakarta mematangkan kisaran tarif. Dia mengusulkan tarif dikenakan mencapai batas tertinggi Rp 75 ribu.

"Tarif Rp 5 ribu - 20 ribu masih terlalu rendah, batas tertinggi bisa mencapai Rp 75 ribu. tujuannya agar ada efek jera menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan umum," tulis Djoko

Dalam pandangannya dia melihat kebijakan ERP ini masyarakat dapat menikmati jalanan lebih lancar, karena yang tidak membayar maka tidak boleh melintas.


[Gambas:Video CNBC]

(dce)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading