CNBC Insight

Cerita Tetangga RI Buat Jalan Berbayar, Hasilnya Gak Disangka

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
13 January 2023 15:35
Pejalan kaki melintasi jalan yang hampir kosong di kawasan Chinatown Singapura, pada Selasa, 3 Agustus 2021. Jumlah kasus virus harian di Singapura tetap di atas 100 sejak 19 Juli, setelah wabah di pelabuhan perikanan membuat pejabat pemerintah memberlakukan kembali pembatasan Covid yang lebih ketat. Photographer: Lauryn Ishak/Bloomberg via Getty Images
Foto: Pejalan kaki melintasi jalan yang hampir kosong di kawasan Chinatown Singapura, pada Selasa, 3 Agustus 2021. (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Daerah DKI Jakarta tengah mendorong pelaksanaan sistem pengendali lalu lintas elektronik yang diharapkan bisa mengurangi kemacetan. Sistem tersebut adalah Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE) atau sistem jalan berbayar (Electronic Road Pricing/ ERP) yang akan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda).

Saat ini, rancangan Perda itu menanti ditetapkan. Kabarnya ada 25 ruas jalan di seantero Jakarta yang menjadi objek pemberlakuan sistem baru ini. 

Jakarta bisa dikatakan sangat ketinggalan dalam urusan jalan berbayar. Negeri tetangganya, Singapura, sudah lebih dulu memulainya sejak 47 tahun lalu.

Bahkan menjadi negara pertama yang menerapkan sistem ini. Oleh karena itu, Jakarta harus belajar dari pengalaman Singapura.

Singapura adalah negara yang punya masalah serupa dengan Jakarta sebelum munculnya sistem jalan berbayar, yakni kemacetan. Masalah ini sebetulnya muncul berkat kesuksesan pemerintah memperbaiki negara.

Di tangan Presiden Lee Kuan Yew, ekonomi negara tumbuh, sehingga pendapatan penduduk ikut meningkat. Dampaknya mereka mampu membeli barang yang mahal, termasuk kendaraan bermotor. 

Masalahnya, Singapura hanya memiliki luas 728 km2, beda sedikit dari Jakarta. Jika kendaraan bermotor semakin meningkat, tidak menutup kemungkinan di masa depan akan terjadi malapetaka.

Jalanan tidak dapat menampung seluruh kendaraan. Kemacetan dimana-mana. Apalagi, saat itu pun di beberapa titik sudah terjadi kepadatan lalu lintas.

Apabila dibiarkan hal ini jelas semakin parah. Terlebih, negara ini diprediksi semakin sesak karena jadi magnet pendatang baru.

Atas dasar inilah, tepat pada 1975, Singapura menerapkan Area Licensing Scheme (ALS). Sistem ini mengharuskan pengendara membeli kertas lisensi sebelum melintasi jalanan objek ALS. Nantinya, kertas tersebut harus ditempel di kaca atau badan kendaraan untuk dicek petugas sebelum masuk ke dalam ruas jalan ALS. 

Mengutip Kian-Keong Chin dalam "Road Pricing-Singapore's 30 Years of Experience" (2005), mulanya penerapan ALS dilakukan Senin-Jumat dari pukul 7.30 sampai 9.30 pagi. Namun, seiring pesatnya pertambahan kendaraan, ALS diperpanjang sampai pukul 4.30 sore.

Biayanya sekitar US$3-5. Khusus bagi taksi, bis umum, mobil barang, motor dan mobil berpenumpang lebih dari tiga orang, dapat masuk area tanpa bayar. Sistem ini terbukti efektif menekan angka kemacetan hingga 44%. 

Penerapan manual punya keterbatasan. Di ujung jalan, butuh 120 petugas untuk melayani penjualan kertas lisensi dan mengawasi kendaraan.

Belum lagi mereka juga harus kerja berjam-jam di bawah teriknya matahari dan hujan, serta suara bising dan polusi jalanan. Alhasil, kerjanya menjadi tidak optimal. 

Atas dasar inilah, pada 1988 Singapura memperkenalkan sistem baru bernama Electronic Road Pricing (ERP). Sesuai namanya, sistem ini seluruhnya menggunakan teknologi. 

Tiap kendaraan diharuskan menggunakan kartu uang elektronik. Nantinya, kartu tersebut ditaruh di suatu alat yang ditempel di kaca mobil. Lalu, tiang pemindai di jalanan akan melakukan pembayaran otomatis. Semua dilakukan tanpa harus berhenti dan lebih efektif. Meskipun, harganya juga mahal berkisar US$5-8.

Melansir Land Transport Authority, peraturan ERP berhasil menekan kemacetan dan kepadatan lalu lintas hingga 24%. Karena berkurang, polusi udara juga ikut menurun. 

Perlu diketahui, kunci keberhasilan bukan hanya karena ERP semata, tetapi juga berkat keberadaan transportasi publik. Akibat adanya jalan berbayar, terjadi pelonjakan pengguna transportasi massal.

Karenanya, transportasi massal pun harus dibenahi, dari segi biaya, ketepatan, dan kenyamanan. Jika aspek ini sudah optimal, maka masyarakat pun akan betah dan selamanya menggunakan transportasi umum, sekalipun mereka mampu melintasi jalan berbayar. 

Keberhasilan Singapura ini mengilhami negara lain untuk menjalankan program serupa, termasuk di Inggris, Swedia, dan yang terbaru Indonesia.


(mfa/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular