Kekayaan RI Dikeruk & Dolarnya Dibawa Kabur, Sampai Kapan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Eksportir Indonesia, terutama mereka yang berkecimpung di usaha pertambangan, mengalami kebanjiran dolar sepanjang 2022. Hal ini dikarenakan harga komoditas yang meroket sepanjang 2022.
Alhasil, komoditas batu bara, nikel dan mineral lainnya menjadi penopang bagi kinerja ekspor yang ciamik tahun 2022. Pada 5 September 2022, harga batu bara mencatatkan rekor baru. Harga batu kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 463,75 per ton.
Booming komoditas ini membuat Indonesia sukses mencetak surplus neraca perdagangan 32 bulan beruntun dengan total nilai ekspor sepanjang tahun 2022 mencapai US$ 291,98 miliar.
Sayangnya, nilai ekspor Ini menjadi yang tertinggi dalam sejarah ini tidak sebanding dengan cadangangan devisa (cadev) Indonesia yang malah menurun sebanyak US$ 7,7 miliar tahun lalu.
Kondisi ini disebabkan oleh eksportir yang gemar menempatkan dolarnya di luar negeri.
Alhasil, likuiditas kering dan cadev menyusut di saat ekspor menunjukkan kinerja yang cemerlang adalah masih banyaknya eksportir yang gemar memarkirkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) mereka di luar negeri. Mereka beralasan karena terbatasnya instrumen dolar di Indonesia serta rendahnya profit yang mereka dapatkan ketimbang di luar negeri.
Catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan kebanyakan eksportir 'nakal' ini berada di bidang pertambangan. Dari total pengenaan sanksi DHE Sumber Daya Alam (SDA) tahun 2021 hingga 2022 nilainya mencapai Rp 53 miliar.
Seperti diketahui, selama 2022, harga komoditas andalan RI seperti batu bara dan nikel mengalami kenaikan yang fantastis. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa eksportir telah mengeruk hasil bumi RI, tetapi membawa dolar hasil keuntungannya ke luar negeri.
"Dari pertambangan (karena jumlah eksportirnya banyak). Dari nilainya kan jelas lebih tinggi," terang Kasubdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Vita Budhi Sulistyo kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Vita memperkirakan jumlah eksportir di sektor sumber daya alam (SDA) mencapai lebih dari 13.000. Mereka adalah eksportir di bidang kehutanan, pertambahan, perikanan, dan perkebunan. Dari jumlah tersebut, sepanjang tahun 2021 hingga 2022 terdapat 216 eksportir yang tidak menempatkan DHE SDA di rekening khusus di dalam negeri.
"Dari sekitar 13.000-an eksportir, ada 216 eksportir dikenai denda administratif dengan jenis pelanggaran tidak menempatkan DHE di rekening khusus," lanjutnya.
Dengan jumlah eksportir di sektor SDA mencapai 13.000 lebih sementara surat tagihan hanya 216 maka artinya hanya 1,6% dari total eksportir SDA yang lalai menempatkan DHE nya di rekening khusus sejak 2021.
Padahal, jika mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (2) dan (3) secara tegas diatur bahwa segala bentuk usaha yang diperoleh dari kekayaan alam Indonesia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Demikian bunyi aturan tersebut
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." dan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Namun sejauh ini, bentuk penguasaan negara atas dolar eksportir yang dihasilkan dari kekayaan alam Indonesia baru sebatas mewajibkan pelaporan saja. Peraturan mengenai DHE diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2019.
Dalam aturan ini eksportir di sektor SDA diwajibkan untuk melaporkan dan memasukkan DHE mereka ke rekening khusus di bank persepsi dan melaporkannya ke BI.
Namun aturan ini tidak mewajibkan mereka menyimpannya di dalam negeri atau mengkonversikannya ke rupiah. Akibatnya, devisa tersebut hanya numpang lewat saja dan tidak memberikan kontribusi terhadap cadev negara.
Padahal jelas, jika mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, hasil kekayaan alam Indonesia harus dipergunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi. Sesuai amanat Undang-Undang, terkhusus untuk DHE SDA negara memang memiliki hak untuk mengatur dan memastikan tindakan pengelolaan kekayaan alam Indonesia akan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah merevisi PP 1/2019 guna memastikan DHE tersebut berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat.
Perubahan ini dilakukan guna mengatur ulang lalu lintas DHE yang selama ini banyak diparkirkan di luar negeri.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat mengungkapkan bahwa ternyata revisi PP tersebut merupakan hasil permintaan dari Bank Indonesia (BI). Pasalnya, saat ini BI ditugaskan untuk tidak hanya mencatat DHE, namun juga turut membawanya ke dalam negeri.
"Dan memang ada permintaan BI PP 1 nya terkait dengan devisa ini direvisi. Nah kami sedang mempersiapkan untuk itu," ungkap Airlangga kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (18/10/2023).
Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah dan BI saat ini tengah mempersiapkan penguatan ekosistem dolar di Indonesia untuk bisa menyaingi negara-negara lain, salah satunya Singapura yang menjadi tempat favorit para eksportir memarkirkan dolar mereka.
"Jadi, pemerintah berbicara dengan BI agar mempersiapkan ekosistem dolar yang lebih kuat, jangan sampai ekosistem kita tidak sebanding dengan Singapura misalnya," ujar Airlangga.
[Gambas:Video CNBC]
Sri Mulyani Cs Beraksi, Siapkan Jurus Atasi 'Kemarau Dolar'
(haa/haa)