CNBC Indonesia Research

Ekonomi RI Membaik, Ketimpangan Kaya-Miskin Bisa Menurun?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
18 January 2023 10:30
DKI Jakarta disebut sebagai salah satu potret nyata yang menggambarkan jurang antara 'si kaya' dan 'si miskin'. Ketimpangan di Ibu Kota dianggap paling lebar. Wakil Presiden Jusuf Kalla Kesenjangan ini bisa kita ukur secara teoritis dalam gini rasio. Tapi juga tentu kita lihat sendiri dalam pandangan mata, Jakarta ini sebenarnya suatu kesenjangan yang paling besar, JK memandang, potret kesenjangan di Ibu Kota terlihat jelas dari kehadiran perumahan elit di beberapa bagian kota. Namun, tidak sulit juga untuk menemukan perumahan kumuh di DKI Jakarta. Sebagai informasi, DKI Jakarta memang termasuk satu dari sembilan daerah dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi di Indonesia. Posisi Jakarta berada di urutan 8 dengan angka 0,390 poin. Adapun tingkat kesenjangan sosial tertinggi berada di DI Yogyakarta 0,422 poin, Gorontalo 0,417 poin, Jawa Barat 0,405 poin, Papua 0,398 poin, dan Sulawesi Tenggara 0,392 poin, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia percaya diri menampakkan pertumbuhan setiap tahunnya jika mengecualikan masa pandemi Covid-19. Namun di balik itu semua, benarkah ketimpangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia justru kian melebar? Mari kita ulas berdasarkan data.

Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air nampak selalu memberikan prediksi optimistik yang meningkat dari tahun ke tahun. Kecuali masa pandemi, sialnya Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 sebesar -2,07 persen.

Hal ini menyebabkan perekonomian Indonesia pada tahun 2020 mengalami deflasi atau penurunan drastis karena perkembangan ekonomi di Indonesia mempunyai pergerakan yang kurang stabil. Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh adanya pandemi Covid-19.

Melihat kontraksi pada tahun 2020 Pemerintah mengeluarkan strategi kebijakan guna memulihkan perekonomian Indonesia.

Perekonomian Indonesia bangkit pasca pandemi. Bahkan, hal tersebut berhasil menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia.

Pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia tercatat sebesar US$ 4,3 ribu pada 2021. Nilai itu lebih besar dari Vietnam yang sebesar US$ 3,8 ribu.

Jumlah tersebut telah naik hampir 40% sejak 2001 yang hanya sebesar Rp7,2 juta. Sepanjang dua dekade tersebut, rata-rata pertumbuhan pendapatan penduduk Indonesia meningkat 3,75% per tahunnya.

Kendati demikian, meningkatnya pendapatan penduduk di Indonesia masih menimbulkan persoalan tersendiri. Pasalnya, distribusi pendapatan tersebut belum merata di antara seluruh penduduk Indonesia, sehingga mendorong adanya ketimpangan. Benarkah ketimpangan masih berlanjut?

Kalau kita lihat data World Inequality Report (WIR) 2022, ketimpangan pendapatan di tanah air semakin melebar. Sejak tahun 2000 hingga saat ini grafik menunjukan bahwa belum menunjukan perbaikan. Data flat tak banyak perubahan. Artinya, ketimpangan dari waktu ke waktu masih sama saja seperti sebelumnya.

Dari data tersebut, sepanjang 2021, ada 10% penduduk Indonesia kelompok ekonomi teratas yang memiliki kontribusi terhadap GDP yakni 46,86% angka ini tak pernah berubah sejak tahun 2018. Sementara, ada 50% penduduk Indonesia kelompok ekonomi terbawah memberikan kontribusi terhadap PDB yakni sebesar 12,45% sejak 2018-2021.

Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp 22,6 juta per tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok 10% teratas yang memiliki pendapatan hingga Rp 285,07 juta per tahun.

Maka, Apabila dicermati kemiskinan dan ketimpangan masih cukup kuat bertahan di Tanah Air. dibuktikan dengan masih besarnya angka kemiskinan dan gini rasio yang tak mengalami perubahan signifikan meski pertumbuhan PDB dikatakan bagus.

Kemiskinan sudah sejak lama menjadi masalah di Tanah Air, hingga sekarang masih belum menunjukkan tanda-tanda menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin.

Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang per September 2022. Jumlah ini naik tipis dibandingkan pada akhir Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan secara persentasenya, jumlah masyarakat miskin per September sebesar 9,57 persen, naik 0,03 persen dibandingkan Maret 9,54 persen.

Ternyata, Sebaran penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatra. Khususnya di Pulau Jawa, jumlah penduduk miskinnya mencapai 13,94 juta orang per September 2022, dengan sebaran terbanyak ada di Jawa Timur (Jatim) dan Jawa Barat (Jabar).

Seiring dengan data ini, ketimpangan kekayaan di Indonesia pun tak menunjukkan banyak perubahan. Padahal, rata-rata harta penduduk di dalam negeri telah meningkat empat kali lipat dalam dua dekade terakhir.

ketimpangan kekayaan di Indonesia pun tak menunjukkan banyak perubahan. Padahal, rata-rata harta penduduk di dalam negeri telah meningkat empat kali lipat dalam dua dekade terakhir.

Kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan rumah tangga secara nasional pada 2021. Persentase tersebut lebih rendah dibandingkan pada 2001 yang sebesar 5,86%. Sementara, 10% penduduk terkaya memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2021. Angkanya justru meningkat dibandingkan pada 2001 yang sebesar 57,44%.

Menilik Rasio Gini Indonesia

Persoalan ketimpangan di Tanah Air sebenarnya juga terlihat dari rasio gini. BPS telah melaporkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan rasio gini sebesar 0,381 pada September 2022. Angka tersebut turun 0,003 poin dibandingkan pada Maret 2022 yang sebesar 0,384.

Penurunan rasio gini nasional disebabkan oleh penurunan angka penduduk miskin pada Maret 2021 karena perekonomian mulai pulih dari dampak Covid-19.

Jika melihat data rasio gini memang sempat turun drastis pada Maret 2021. Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,384. Angka ini menurun 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2020 yang sebesar 0,385. Penurunan tentu saja dipicu oleh pandemi Covid-19.

Jika dilihat dari klasifikasi daerahnya, persentase pengeluaran nasional di kelompok 40% terbawah di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 17,19% dan 21,06%. Ini berarti baik perkotaan maupun perdesaan sama-sama masuk kategori ketimpangan rendah.

Adapun, Yogyakarta menjadi provinsi dengan rasio gini tertinggi pada September 2022, yakni 0,459. Sementara, Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi dengan rasio gini terendah sebesar 0,255.

Selain itu, rasio gini di 6 provinsi tercatat lebih tinggi dibandingkan rata-ratanya secara nasional. Sedangkan, 28 provinsi lainnya memiliki rasio gini yang lebih rendah dari rata-rata nasional.

Ini tentunya masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menekan kesenjangan pendapatan yang diukur dari gini rasio. Sehingga, jika adan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2021 telah mencapai US$ 4.349,5, harapannya rasio gini juga bisa ditekan dari levelnya saat ini.

Program pemberdayaan ekonomi untuk penduduk miskin ekstrem dan penduduk miskin patut terus dikawal. Ini dilakukan bisa dengan penyelenggaraan program padat karya yang menggunakan dana desa dan anggaran dan APBN maupun APBD.

Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) harus terus dilakukan dengan catatan suku bunga KUR mikro bisa ditekan sehingga tidak menyulitkan rakyat. Selain itu, pemerintah juga perlu menggenjot tenaga kerja. Setidaknya ini upaya real yang bisa dilakukan untuk mengentas kemiskinan dan mengupayakan gini rasio dapat ditekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular