Masalah Klasik! Nih Biang Kerok Mahalnya Harga Beras di RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Guru Besar Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UNDIP FX Sugiyanto mengatakan persoalan utama yang menyebabkan tingginya inflasi beras di Indonesia adalah perjalanan panjang proses distribusi beras dari produsen ke konsumen. Belum lagi kondisi ini dapat diperparah dengan adanya gangguan proses distribusi penyediaan pangan di Indonesia.
"Jadi problem (inflasi) kita ada di mana? problemnya ada di tengah, dari hulu sampai kepada pengguna. Jadi ada persoalan di jalan menurut saya, persoalan di jalan dari petani ke pengguna," jelasnya dalam acara seminar nasional Strategi Menjaga Inflasi dan Ketahanan Ekonomi Daerah 2023 INDEF, Kamis (12/1/2023).
"Itu yang disebut distribusi, sistem logistik, dan sistem informasi pangan. Biaya di sini (tengah) yang sangat tinggi, kalau pada level namanya itu perspektif kelembagaan, ada problem," tambahnya.
Ia membaca sebetulnya ada dilema yang terjadi ketika pemerintah berusaha untuk menurunkan harga inflasi beras sedangkan di sisi lain para petani berharap mereka menikmati harga yang tinggi.
"Satu pihak beras menjadi komponen terpenting pembentuk inflasi dari bulan ke bulan, si yang lain petani menangis karena harganya tidak pernah tinggi. Karena apa harga yang digunakan untuk menghitung inflasi itu harga di end user, harga yang dinikmati petani harga yang di hulu kan gitu," paparnya.
Oleh karena itu, FX merekomendasikan Bank Indonesia dalam upaya pengendalian inflasi untuk juga menaruh fokus pada penyelesaian masalah dari sisi pasokan. Karena menurutnya, menyelesaikan permasalahan distribusi, logistik, dan informasi ini akan dapat menyelesaikan masalah inflasi jangka panjang.
"Mbok BI yang sudah mengidentifikasi supply side yuk risetnya kalau perlu tentang supply side ini, karena ini bicara jangka panjang, bukan yang demand. Saya pikir akan memecahkan persoalan inflasi jangka panjang yang sistem logistik, sistem distribusi, dan sistem informasi pangan," jelasnya.
Menurutnya, dengan memperbaiki proses distribusi pangan hal ini dapat berpengaruh besar terhadap kepentingan berbagai pihak, baik dari sisi pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia, kesejahteraan petani, hingga konsumen bisa mendapat harga terbaik dari pangan tersebut.
"Dan kalau ini bisa ditekan costnya, saya yakin ini akan bisa mempengaruhi besar, petani bisa menikmati harga yang lebih baik, harga beras relatif akan terkontrol," pungkasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) harga gabah dan beras tingkat petani pada Desember 2022 lalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). BPS mencatat rata-rata harga gabah kering panen senilai Rp 5.624 angka ini naik 17,83% yoy. Sedangkan untuk gabah kering giling di harga Rp 6.166 naik 21,75% yoy. Dari data ini terlihat jarak harga gabah kering panen dan giling nyari mencapai Rp 500.
Sedangkan untuk harga rata-rata beras, BPS mencatat harga beras di penggilingan senilai Rp 10.604, harga ini naik 13,44% yoy. Untuk beras grosir di harga Rp 11.363 naik 8,95% yoy. Dan untuk beras eceran Rp12.112 naik sebesar 6,23% yoy. Data ini memperlihatkan selisih harga beras di penggilingan dengan yang dijual di eceran mencapai Rp 1.500.
(mij/mij)