Dalih 'Tsunami' PHK, Pengusaha Desak Buruh Cuma Kerja 30 Jam

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku usaha meminta pemerintah memberlakukan fleksibilitas jam kerja buruh. Langkah ini diklaim bisa jadi solusi menekan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur dalam negeri.
Seperti diketahui, pelaku usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki melaporkan telah terjadi pemangkasan karyawan secara besar-besaran. Pasalnya, pabrik-pabrik tekstil dan sepatu tengah tertekan akibat anjloknya order di pasar ekspor, seperti AS dan Uni Eropa.
Karena itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, daripada terjadi badai PHK yang semakin berlanjut, lebih baik untuk para pengusaha menerapkan kebijakan pemangkasan jam kerja. Meski, hal itu tidak ada di dalam kebijakan atau Undang-undang (UU) yang berlaku.
"Daripada kita melakukan PHK, lebih baik ada suatu kebijakan di dalam fleksibilitas jam kerja. Yaitu waktu kerja menjadi 30 jam dalam seminggu. Tetapi untuk sistemnya sendiri adalah 'no work, no pay'. Memang tidak ada di dalam kebijakan, tetapi ya kalau tidak ada terobosan, PHK ini akan berlanjut," kata Anton Supit dalam Profit CNBC Indonesia, Kamis (12/1/2023).
Anton mengaku telah memohon kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan itu agar industri padat karya khususnya yang berorientasi ekspor dapat bertahan.
"Karena itu, kita meng-appeal pemerintah, kalau kita ingin mempertahankan industri ini dan termasuk tentunya lapangan kerja, harus ada suatu kebijakan yang bisa mengantisipasi," ujarnya.
"Apakah industri ini masih dibutuhkan di Indonesia? Sebab kalau kita lihat kebijakan-kebijakan pemerintah itu ada kalanya kontraproduktif. Nah sekarang terbukti bahwa demikian banyak pabrik-pabrik (dijual), garmen terutama. Bahwa itu sudah terjadi," tambah Anton.
Gelombang PHK saat ini, imbuh dia, tidak bisa dibebankan sebagai masalah dan kesalahan pelaku usaha saja. Tapi juga tanggung jawab pemerintah.
"Dan kalau terjadi PHK biasanya itu menambah angka kemiskinan, karena itu kita tidak hanya melihat bisnis garmen. Hari ini kita bicara bisnis garmen di Pantura. Seakan-akan ini ya sudahlah kalau memang yang sudah mau mati, mau dijual, ya tutup aja. Bukan begitu ceritanya," tutur Anton.
"Lantas, bagaimana dengan angkatan kerja yang 60% maksimal pendidikan SD dan SMP itu? Mau dipekerjakan di mana? Sebagian orang pemerintah mengatakan ada pekerjaan baru di bidang digitalisasi, apakah pekerja pabrik bisa masuk di situ?," tukas Anton.
[Gambas:Video CNBC]
Alasan Pengusaha Minta Relaksasi Sistem Gaji "No Work No Pay"
(dce)