
Industri Jasa Tambang Usulkan Biodiesel Gak Cuma dari FAME

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sukses menjalankan program Biodiesel 30% alias B30, yakni campuran antara 30% Fatty Acid Methyl Esters (FAME) dan 70% Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar, kali ini pemerintah bakal menjalankan program B35. Adapun program B35 sendiri rencananya bakal mulai berlaku pada 1 Februari 2023.
Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono menyampaikan bahwa pihaknya mendukung penuh langkah pemerintah untuk segera mengimplementasikan program B35. Apalagi, hal tersebut sebagai upaya untuk menggenjot pemanfaatan sumber energi dalam negeri yang ramah lingkungan.
Namun demikian, selain B35 dengan campuran komposisi FAME sebesar 35% dan Solar 65%, pihaknya mengusulkan agar dibuka opsi campuran lainnya, salah satunya yaitu dengan Hydrotreated Vegetable Oil (HVO).
Dengan demikian, program B35 ini dilakukan dengan pencampuran 65% BBM Solar, 30% FAME (seperti halnya B30 yang sudah berjalan) dan ditambah 5% dari HVO atau biasa dikenal dengan Green Diesel D100.
Pihaknya mengusulkan, setidaknya untuk Biodiesel B35 bagi industri pertambangan ini ada unsur pencampuran HVO, tidak sepenuhnya 35% dari FAME.
Dia beralasan, berdasarkan pengujian yang sudah dilakukan pihaknya, hasil pengujian ini menunjukkan bahwa dengan campuran HVO sebesar 5%, hasilnya lebih bagus untuk di penyimpanan ketimbang hanya dengan campuran FAME.
"Fokus kami untuk penyimpanan jangka panjang. Jangan makin lama negatifnya makin berat. Kalau dengan HVO ini sudah diuji. Karena anggota kami sudah simpan sendiri dengan dua macam itu, kalau gak salah 6 bulan. Itu peningkatan penyerapan air dari udara bebas tadi jauh lebih lambat kalau pakai campuran HVO," kata Bambang saat ditemui CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Senin (09/01/2023).
Berdasarkan rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masa penyimpanan bahan bakar biodiesel saat masih B30 sebaiknya tidak lebih dari tiga bulan, terutama di tempat yang mudah terkontaminasi udara.
Menurutnya, pihaknya juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dari biodiesel ini, seperti memasang saringan berganda (double filter) pada tangki penyimpanan, serta melakukan perawatan rutin pada tangki mesin.
Bila campuran FAME ditingkatkan, pihaknya mengkhawatirkan efek negatif akan semakin lebih besar. Namun hal berbeda ketika diuji coba menggunakan pencampuran HVO. Menurutnya, dampak negatif dari HVO, bahkan setelah enam bulan penyimpanan, dinilai hampir tidak ada.
Oleh karena itu, pihaknya pun telah mengirimkan surat kepada Kementerian ESDM agar untuk industri alat berat dan jasa pertambangan, campuran biodiesel untuk B35 ini ada opsi untuk ditambahkan HVO, setidaknya 5% HVO, sehingga tidak murni 35% campuran dari FAME.
"Untuk itu, kami mengusulkan, untuk industri alat berat bisa pakai campuran HVO. Kami sudah mengirim surat terkait usulan ini kepada Kementerian ESDM. Kami gak akan ganggu gugat yang 30% FAME atau B30, tapi kami usulkan untuk yang program B35 ini bisa ditambahkan 5% HVO, Jadi 30% FAME plus 5% HVO," paparnya.
Dia menyebut, kebutuhan Solar/biodiesel untuk industri jasa pertambangan rata-rata sekitar 4 juta kilo liter (kl) per tahun. Jumlah kebutuhan tersebut sudah termasuk dengan pencampuran biodiesel B30 yang selama ini telah berjalan.
Bila ada tambahan campuran HVO 5%, maka diperkirakan HVO yang diperlukan juga belum terlalu besar, yakni masih sekitar 200 ribu kl per tahun.
"Berdasarkan pengujian kami, menambah HVO ini tidak menambah jelek kondisi biodiesel yang sudah dicampur 30% FAME atau B30. Concern kami ada pada penyimpanan jangka panjang. HVO sudah diuji dan tidak memiliki dampak negatif bila disimpan dalam jangka panjang atau setidaknya enam bulan," tuturnya.
Tak hanya di industri jasa pertambangan, menurutnya aspek penyimpanan biodiesel ini juga menjadi perhatian di sektor lainnya, seperti rumah sakit, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Sejumlah sektor tersebut juga turut menggunakan biodiesel namun untuk penyimpanan yang jangka panjang.
Pasalnya, industri tersebut menggunakan biodiesel untuk bahan bakar genset sebagai alternatif sumber energi cadangan bila suatu waktu ada gangguan di jaringan listrik PLN.
Karena penggunaannya hanya sebagai cadangan, maka penyimpanan biodiesel di industri tersebut tentunya akan memakan waktu yang relatif lebih panjang, dan kemungkinan besar lebih dari tiga bulan.
Oleh sebab itu, Bambang menilai persoalan seperti ini setidaknya perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut.
"Saya kemukakan lah rumah sakit, perkantoran kan selalu punya genset cadangan PLN itu, kalau sekali ngisi setahun gak habis apakah setelah 3 bulan dibuang? Tapi kalau toh rekomendasi 3 bulan asal melakukan maintenance tadi seharusnya masih bisa diserap. Tapi semua pihak belum tentu ngerti," kata dia.
Oleh karena itu, menurutnya perlu ada opsi pencampuran lainnya selain FAME yang tidak menimbulkan efek negatif, khususnya dalam hal masa penyimpanan.
"Kami Aspindo sudah berkomitmen untuk mau mengambil HVO, tapi itu bisa dilakukan bila ada persetujuan pemerintah. Kita pun tidak perlu mengeluarkan usaha terlalu keras untuk meyakini pabrikan alat berat dunia karena dengan B35 dan ada campuran HVO ini, efek negatifnya hampir gak ada," jelasnya.
Dia mengatakan, pabrikan alat berat dunia sebenarnya hanya memberikan garansi mesin aman bila pencampuran biodiesel sebesar 7% (B7), sesuai dengan rata-rata pemakaian biodiesel di dunia. Bila semakin tinggi kandungan biodieselnya, maka artinya semakin berat usaha dari pihak Indonesia untuk meyakinkan pabrikan alat berat dunia tersebut.
Namun demikian, sampai pencampuran B30 ini menurutnya pabrikan alat berat masih mau menerimanya.
"Sampai B30 seluruh produsen alat berat mau menerima. Secara dunia memang cuma mau menerimanya B7 atau campuran biodieselnya 7%. Kalau makin tinggi, makin berat kami meyakinkan mereka. Nah ini ada alternatif lain yang dampak negatifnya hampir tidak ada, yakni HVO," ucapnya.
Lantas, bagaimana kata ahli mesin terkait perbedaan penggunaan FAME dan HVO ini?
Menurut Ahli Konversi Energi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, HVO dan FAME pada dasarnya berasal dari bahan baku yang sama, yakni turunan minyak sawit (Crude Palm Oil/ CPO).
Namun, untuk HVO sendiri telah melewati proses pengolahan kembali di kilang minyak dalam negeri dengan menghasilkan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO).
Sementara, FAME sendiri hanya melalui proses esterifikasi atau reaksi kimia biasa, bukan reaksi pemecahan hidrokarbon. Sehingga, berpotensi menimbulkan masalah di mesin.
"HVO ini hampir gak ada (masalah) karena ini hampir seperti Solar, tapi cetane numbernya tinggi bisa sampai 96, jadi hasil akhirnya beda banget tidak seperti biodiesel," tuturnya.
Sementara FAME akan memunculkan tumbuhnya jamur, lumut bakteri di lapisan gabungan antara B30 dengan air. Kondisi ini tidak terjadi pada HVO atau D100.
"D100 (HVO) ini seperti Solar, tidak akan memunculkan itu (jamur, lumut). Kalau di FAME itu menarik air, kalau HVO nggak," tuturnya.
"Mungkin ketika disimpan, kalau campuran B40 artinya Solar 60% dan FAME 40%, maka kadar airnya akan naik terus, di situ tumbuh jamur, lumut, bakteri dan sebagainya, nanti akan membuat filternya cepet mampet," lanjutnya.
Namun demikian, dia menekankan, untuk HVO (D100) yang dicampur dengan FAME 30% dan
65% Solar ini belum diketahui efeknya. Oleh karena itu, menurutnya, ini perlu dilakukan uji coba terlebih dahulu.
Saat ini menurutnya Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas Kementerian ESDM tengah melakukan uji coba pencampuran HVO dengan FAME pada Solar untuk program B40.
Ada dua formula yang tengah diuji coba dalam B40, yakni 40% FAME dan 60% Solar, serta 60% Solar plus 30% FAME plus 10% HVO.
"Jadi saya gak bisa komentar mana yang lebih bagus antara campuran 60% Solar dan 40% FAME dengan 60% Solar, 30% FAME dan 5% HVO, saya gak bisa komentar karena saya gak ikut uji coba itu," kata dia.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biodiesel B35 Jalan Tahun Depan, Kok Gak Jadi B40 Pak Jokowi?