
Sejarah Pesangon Kena PHK, Sejak Dulu Sudah Bikin Heboh!

Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah pesangon kembali mencuat setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 telah diteken oleh Presiden Joko Widodo demi melaksanakan Undang-undang Cipta Kerja yang ditetapkan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Semenjak UU Cipta Kerja, pesangon memang jadi hal yang sensitif, mulai ada pemangkasan kewajiban soal pesangon bagi dunia usaha dibandingkan periode sebelumnya dan adanya iuran terkena PHK. Cek di sini.
Awal pesangon bisa ditarik lebih jauh di kasus global. Sejak James Watt berhasil menyempurnakan mesin uap temuan Thomas Newcomen pada 1770-an, dunia memasuki era baru: industrial. Bermula di Inggris, peristiwa yang disebut Revolusi Industri ini mendorong terjadinya industrialisasi besar-besaran di seluruh dunia. Perlahan, mesin-mesin menggantikan tenaga manusia dan hewan.
Proses produksi semakin cepat. Namun pada sisi lain revolusi ini menimbulkan perubahan sosial, salah satunya membentuk kelas baru dalam sistem sosial: kelas buruh. Kelas buruh inilah yang kerap mengalami penindasan oleh pemilik modal atau pemilik usaha.
Seiring berjalannya industrialisasi masalah utama yang kerap dihadapi buruh selalu sama, yakni upah murah yang tidak sesuai dengan jam kerja, sementara pemilik usaha semakin kaya. Belakangan, mereka juga kerap diberhentikan tanpa pemberitahuan dan gaji oleh pemilik modal. Sejumlah masalah ini kemudian memantik protes dari para buruh dan kritikus hingga melahirkan paham sosialisme. Salah satu tujuan paham ini adalah merebut alat produksi yang dimiliki pemilik modal.
Untuk menyelamatkan keberlangsungan usaha, para pemilik modal melakukan perubahan dengan mendengarkan tuntutan buruh, termasuk juga ihwal kompensasi pemberhentian kerja. Menurut Robert Holzmann, dkk dalam Severance Pay Programs Around the World (2011), aturan pertama di dunia tentang kompensasi pemberhentian atau pesangon (severance pay) bermula di Inggris dan AS pada 1875.
Di negara pusat industri itu terjadi kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja. Masing-masing pihak bebas menerima atau menolak tawaran untuk mengakhiri kontrak kerja. Sekalipun ingin berakhir, maka pemberi kerja harus membayar ganti rugi pemutusan hubungan kerja dengan pekerja.
Aturan ini jelas disambut baik pekerja, tetapi tidak oleh pelaku usaha. Sebab, mereka harus mengeluarkan uang lebih di luar gaji bulanan. Maka, untuk mensiasatinya pemilik usaha memberikan pesangon dalam jumlah kecil dan tanpa perhitungan. Lagi-lagi pekerja dirugikan.
Pada awal abad ke-20, terbit aturan baru di banyak negara Eropa yang mengharuskan adanya pemberitahuan pemberhentian kerja. Pembaharuan ini dimaksudkan agar pemilik usaha dapat mempersiapkan uang pesangon dengan memperhitungkan masa kerja. Tujuannya agar pekerja tidak dapat uang yang sedikit.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak negara yang lepas dari jeratan kolonialisme. Negara-negara ini lantas menerapkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dengan menjamin standar kesejahteraan hidup minimum tiap warganya. Dari sinilah, banyak negara lewat undang-undang perburuhan, menerapkan konsep pesangon. Terlebih, banyak pula yang mengadopsi sistem ekonomi pasar, sehingga menerapkan pesangon menjadi keharusan. Di Indonesia, konsep pesangon resmi diatur setidaknya saat ada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski demikian, sistem ini bukan tanpa kontroversi. Menurut Umut Riza Ozkan dalam "The origins of severance pay in unemployment compensation" (Labor History, 2013), konsep pesangon mendapat kritikan dari beberapa pengamat sejak 1980-an.
"Kritikan terkonsentrasi pada skema pesangon. Para pemberi kerja yang sangat dirugikan berupaya untuk tidak mentaati pemberian pesangon. Ada pula yang ingin mengubah kompensasi pemutusan kerja yang lebih dari sekedar uang tunai. Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah berupaya menetapkan skema uang pensiun," tulis Umut Riza Ozkan.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan Terbaru Jokowi: Pesangon PHK Maksimal 9X Gaji
