Seram Banget! PHK Pabrik Tekstil Bisa Sampai 500 Ribu Orang

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
14 December 2022 11:25
Suasana sepi pabrik garmen PT. Fotexco Busana International, Gn. Putri, Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/11/2022). (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)
Foto: Suasana sepi pabrik garmen PT. Fotexco Busana International, Gn. Putri, Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/11/2022). (Tangkapan layar CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, pemangkasan pekerja di pabrik tekstil dan produk tekstil bisa mencapai 500 ribu orang.

Mulai dari karyawan dirumahkan, dipangkas jam kerja, kontrak tak diperpanjang, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap.

Menurut Redma, hal itu dipicu perlambatan ekspor yang menekan utilisasi pabrik, hingga efek domino gempuran produk impor di dalam negeri.

"PHK masih terus berlanjut, tapi pemerintah nggak percaya. Awalnya ada yang jam kerja dipangkas, tadinya 6 hari dikurangi jadi 4 hari, mereka di-rolling. Lalu, ada yang dirumahkan, upahnya dibayar 20%. Kemudian terminate (putus/ tidak diperpanjang) kontrak, lalu PHK," kata Redma kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (14/12/2022).

"Karena kalau langsung PHK kan si perusahaan harus lapor dan bayar pesangon. Jadi dia milih merumahkan karyawan atau tak memperpanjang kontrak. Intinya, terjadi pengurangan karyawan sebenarnya. Sudah lebih 100 ribuan orang. Itu baru di pabrik skala menengah besar. Kalau hitung skala kecil sampai UMKM tukang jahit, bisa lebih dari itu," ujarnya.

Di sisi lain, dia mengaku, perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri tak bisa berbuat banyak jika menyangkut anjloknya ekspor.

"Karena yang terjadi kan penurunan order di negara lain, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS), dipicu faktor ekonomi di sana, inflasi, krisis. Meski, anehnya, pejabat kita lagi-lagi nggak percaya," kata dia.

"Kalau masih terjadi kenaikan nilai ekspor, itu tidak memberikan hasil apa-apa ke perusahaan di sini. Karena, volumenya anjlok," tambah dia.

Redma menjelaskan, pabrik tekstil jadi di dalam negeri, terutama garmen berorientasi ekspor biasanya penjahit bagi produk bermerek global.

Biasanya, kata dia, pemilik merek mengorder dalam jumlah tertentu dengan nilai tertentu.

"Sementara, harga bahan baku terus naik dan berubah setiap hari. Yang tadinya order 1.000 lembar dengan US$100 juta, karena bahan baku naik sementara demand turun. Nggak lagi 1.000 lembar, nilainya bisa jadi US$120 juta. Tapi, nilai itu naik karena bahan bakunya naik, diteruskan ke harga barang. Jadi, bukan naik lalu si pabrik menikmati, bukan begitu," papar Redma.

Kondisi itu, lanjutnya, dialami tak hanya pabrik di dalam negeri, tapi juga perusahaan tekstil di negara pesaing utama RI lainnya, seperti China, Bangladesh, dan Vietnam.

"Order mereka juga anjlok parah. Makanya, mereka mencari pasar. RI jadi incaran karena mindset pejabat kita masih pro-impor. Barang impor masuk-masuk saja," tukas dia.

"Kalau ekspor yang lagi anjlok kita nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi, ini di dalam negeri kita, kan seharusnya bisa kita kontrol. Kalau pemerintah tak segera menangani kondisi ini, masih membiarkan serbuan impor, sampai kuartal pertama tahun depan, PHK di industri TPT bisa mencapai 500 ribu orang, hulu ke hilir," pungkas Redma.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Sinyal 'Curi Start' PHK Buruh Tekstil, Ini Kata Pengusaha

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular