Gelombang PHK Belum Berhenti, Bakal Muncul yang Lebih Besar

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
09 December 2022 18:15
Massa buruh dari Partai Buruh menggelar aksi di depan Patung kuda, Jakarta, Rabu, (12/10/2022). Ada 6 tuntutan yang disuarakan dalam aksinya Di antaranya tolak kenaikan BBM dan PHK. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Massa buruh dari Partai Buruh menggelar aksi di depan Patung kuda, Jakarta, Rabu, (12/10/2022). Ada 6 tuntutan yang disuarakan dalam aksinya Di antaranya tolak kenaikan BBM dan PHK. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belum berakhir. Situasi dunia yang kian memburuk dikhawatirkan akan memukul perekonomian dalam negeri dan berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melalui keterangan tertulis, Jumat (9/12/2022)

"Tekanan capital outflow, depresiasi nilai rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan PHK menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi," jelasnya.

Kekhawatiran Airlangga bersumber dari beberapa faktor. Pemburukan dari dampak Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian yang belum berakhir ini menurutnya semakin diperparah dengan lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi, stagflasi, gejolak geopolitik, climate change, serta krisis yang terjadi pada sektor energi, pangan, dan finansial.

Airlangga bahkan berpendapat, ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telah menempatkan perekonomian global berada dalam pusaran badai yang sempurna, the perfect storm, sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global pada 2023.

Pertumbuhan ekonomi global untuk 2022 kata dia akan berada pada rentang 2,8-3,2%. Lalu semakin menurut pada 2023 menjadi di kisaran 2,2-2,7% dari perkiraan awal berada di kisaran 2,9-3,3%.

Sinyal pelemahan ekonomi global ini juga tercermin dari kembali melambatnya Purchasing Managers' Index (PMI) global yang berada di level kontraksi 48,8 pada November 2022, setelah pada bulan sebelumnya tercatat pada posisi 49,9.

Sejumlah negara di dunia yang terlihat masih mengalami kontraksi PMI pada November di antaranya China (49,4), Inggris (46,5), Amerika Serikat (47,7), Jepang (49), dan Jerman (46,2).

Menurut Airlangga, penurunan kinerja manufaktur secara global ini diantaranya merupakan imbas dari pelemahan indeks output serta terbitnya kekhawatiran sektor manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan.

Kendati begitu, ia menekankan, pertumbuhan seluruh sektor manufaktur ASEAN pada November 2022 tetap terjaga di level optimis, yakni di posisi 50,7. Ditopang indeks di Singapura (56,0), Filipina (52,7), Thailand (51,1), dan Indonesia (50,3). Sedangkan Malaysia sudah di level pesimistis atau di bawah 50 (47,9), bersama Vietnam (47,4) dan juga Myanmar (44,6).

Dari sisi inflasi, Airlangga berujar, pada tataran global masih terus merangkak naik dipicu terganggunya rantai pasokan globali terutama pada sektor energi dan pangan akibat pandemi dan gejolak geopolitik.

Pada bulan Oktober 2022, inflasi tinggi tercatat masih terjadi di sejumlah negara seperti Argentina (88%), Turki (85,5%), Rusia (12,6%), Italia (11,9%), United Kingdom (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%).

"Lonjakan inflasi yang kemudian direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga, pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global," kata Airlangga.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai PHK Massal, Industri Bakal Dikasih Keringanan Utang!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular