Ekonomi RI Tumbuh Tinggi Tapi PHK Merajalela, Loh Kok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 tumbuh sebesar 5,31%. Ini lebih tinggi dari angka pertumbuhan ekonomi 2021 yang hanya tumbuh sebesar 3,7%.
Tingginya realisasi tersebut ternyata tidak dialami seluruh sektor usaha. Faktanya banyak sektor yang terseok-seok hingga harus mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Kenapa demikian?
Menurut Kepala BPS Margo Yuwono, secara umum pertumbuhan yang melesat tinggi ini secara domestik didorong oleh kombinasi aktivitas masyarakat yang semakin menggeliat dan hasil dari bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga daya beli maupun meningkatkan aktivitas perekonomian.
"Catatan BPS tahun 2022 konsolidasi yang kuat antara fiskal dan moneter dapat menjaga daya beli masyarakat dan meningkatkan aktivitas perekonomian seluruh pelaku ekonomi di Indonesia," jelasnya dalam konferensi pers, Senin (6/2/2023).
Adapun bentuk dari bauran kebijakan tersebut dijelaskan Margo seperti penyaluran bantuan perlindungan sosial, subsidi BBM, bantuan subsidi upah dan dukungan APBN. Sedangkan dari kebijakan moneter, menurut Margo hal ini didorong dengan respon bank sentral terkait inflasi dengan menaikkan suku bunga dari 4,5% pada September 2022 menjadi 5,50% pada Desember 2022.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah salah satu sektor yang masih terpuruk, terjadi pada kuartal III dan IV tahun 2022. Menurut Direktur Neraca Produksi BPS Puji Agus Kurniawan fenomena tersebut dikarenakan beberapa faktor.
Pertama, data nilai tambah industri tekstil pada dua kuartal tersebut yang menunjukkan kontraksi tajam, dimana semula di kuartal II pertumbuhannya sebesar 1,64, kemudian anjlok menjadi -0,92 pada kuartal III dan sedikit membaik menjadi -0,43 pada kuartal IV 2022.
"Di triwulan III ada PHK besar-besaran di industri tekstil, maka harusnya di triwulan III turun dibandingkan q to q sebelumnya. Nah di kuartal III industrinya itu negatif 0,92, masih negatif di kuartal IV -0,43, padahal sebelumnya masih positif di kuartal II sebesar 1,64 itu produksinya," terang Puji kepada CNBC Indonesia, Senin (6/2/2023).
Kedua, lanjut Puji biasanya penurunan pertumbuhan dipengaruhi oleh menurunnya permintaan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai ekspor sektor pakaian dan aksesoris (rajutan). Dimana sepanjang tahun 2022 nilainya mencapai USD 4,679 miliar, nilai ini naik dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya mencapai USD 4,392 miliar.
Kendati demikian, data BPS memang menunjukkan penurunan ekspor pada industri ini pada kuartal III dan IV tahun lalu. Dimana pada kuartal II ekspornya mencapai USD 1,220 miliar namun nilainya turun menjadi USD 1,207 miliar pada kuartal III. Kemudian, ekspor kembali turun pada kuartal IV menjadi USD 987,6 juta.
Selain itu, yang ketiga menurut Puji hal tersebut dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja di sektor industri tekstil. Jika dilihat dari jumlah tenaga kerja di industri tekstil pada periode Agustus 2021 hingga Agustus 2022 juga menunjukkan tren penurunan.
Penurunan jumlah tenaga kerja, dari data BPS terjadi pada 13 sub sektor industri tekstil. Di mana terjadi penurunan tenaga kerja sebesar 1,13 juta menjadi 1,08 juta. Atau turun sekitar 50.000 orang.
[Gambas:Video CNBC]
Ramai PHK Massal, Industri Bakal Dikasih Keringanan Utang!
(mij/mij)