Banyak Negara Hancur, BI: Tuhan Masih Sayang dengan Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini, hampir seluruh negara di dunia tengah menghadapi kenaikan tingkat inflasi. Bahkan, negara maju sekelas Amerika Serikat (AS) menorehkan inflasi yang sempat melampaui 10%.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menilai kenaikan tersebut disebabkan oleh dampak ekonomi pasca pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, kemudian lanjut dihantam oleh krisis ekonomi akibat perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan kenaikkan harga berbagai kebutuhan dasar, utamanya di sektor pangan.
Dia menyebutnya sebagai fenomena post Covid-19. Di masa pandemi, pemerintah dan bank sentral memberikan stimulus besar-besaran kepada masyarakat, namun pada saat itu mobilitas masih terbatas sehingga mengakibatkan supply bermasalah.
Namun, setelah pandemi bisa ditangani, masyarakat jadi memiliki likuiditas yang banyak akibat dari stimulus dan dana khusus yang diberikan pemerintah. Oleh karena itu, setelah pandemi, permintaan meningkat, namun rantai pasok tetap terganggu akibat perang Rusia-Ukraina.
"Masyarakat bawah, menengah atas, menikmati adanya tambahan likuiditas, sehingga saat mobilitas membaik, Covid mulai mereda yang terjadi adalah semua tiba-tiba mau spending, makan mau nambah, dan sebagainya, dan juga untuk yang lain-lain. Terus ditambah lagi ada Rusia sama Ukraina konflik dan kita tahu Rusia Ukraina ini adalah gudangnya pangan, juga energi, gandum, segala macam dari sana," papar dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, Jumat (9/12/2022).
Lebih lanjut, dia mengatakan kebijakan menaikkan suku bunga yang dilakukan negara maju untuk merespon tingkat inflasi yang tinggi telah mengakibatkan situasi dunia semakin tidak jelas.
Belum lagi, menurutnya, ditambah faktor lain yang juga mengancam dunia seperti perubahan iklim, gelombang panas, dan kondisi dunia yang saat ini mengalami VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity), dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.
"Ini akhirnya menyebabkan dunia semakin menjadi nggak jelas, VUCA makin tinggi dan ini kita nggak tahu sampai kapan habisnya khususnya perang Rusia Ukraina, kemudian ada heatwave juga, climate change sehingga distribusi barang segala macam masih terganggu," tambahnya.
Melihat kondisi ini, menurutnya Indonesia tidak bisa berharap banyak dari perekonomian global saat ini. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk fokus pada kekuatan perekonomian domestik yang masih menunjukkan pertumbuhan positif hingga kuartal 3 tahun ini sebesar 5,72%.
Hal itu dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang tinggi, peluang besar investasi, kenaikan harga komoditi ekspor hingga reformasi struktural ekonomi Indonesia yang mulai berfokus ke hilirisasi industri. Menurutnya, hal itu perlu disyukuri sebagai bentuk Tuhan masih sayang kepada Indonesia.
"Jadi ini kondisi yang memang global, kita nggak bisa berharap banyak. Kekuatan kita di domestik, kita punya pangsa pasar gede ya, konsumsi kita masih 55% dari PDB, peluang investasi sangat tinggi, ekspor kita juga bagus kenapa ya, Tuhan masih sayang dengan kita," kata Destry.
"Harga komoditi naik, kita ikut naik, harga komoditas ekspor kita naik juga. Dan satu hal lagi adalah keberhasilan structural reform di ekonomi yaitu dengan pengembangan hilirisasi industri yang tadinya kita mengekspor bahan mentah nikel kemudian diolah menjadi biji besi dan baja itu menghasilkan tambahan ekspor berkali-kali lipat dan sekarang pemerintah mencanangkan bauksit akan juga arah ke sana," tambahnya.
Dia menambahkan bahwa Bank Indonesia optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 berada di kisaran 4,8% hingga 5,3%.
"Kita alhamdulillah bisa tumbuh di kuartal 3 5,72% dan 2023 kami perkirakan 4,8 sampai 5,3% karena ekonomi domestik kita masih kuat," harapnya dengan nada optimis.
[Gambas:Video CNBC]
BI Angkat Bicara Soal 'Momok' yang Ditakutkan Jokowi
(haa/haa)