Mengerikan! 'Hantu' Baru Ancam Dunia Bernama VUCA

News - Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
09 December 2022 14:40
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia) Foto: Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti membeberkan sejumlah alasan tingginya tingkat inflasi yang banyak terjadi di negara maju belakangan ini.

Menurutnya, inflasi ini terjadi akibat adanya fenomena pasca pandemi Covid-19. Pasca pandemi, terjadi peningkatan daya beli masyarakat akibat likuiditas yang banyak sehingga membuat permintaan meningkat, namun di sisi lain perang Rusia-Ukraina telah mengganggu rantai pasok sehingga menyebabkan terjadinya penurunan penawaran.

"Masyarakat bawah, menengah atas, menikmati adanya tambahan likuiditas, sehingga saat mobilitas membaik, Covid mulai mereda yang terjadi adalah semua tiba-tiba mau spending, makan mau nambah, dan sebagainya, dan juga untuk yang lain-lain terus ditambah lagi ada Rusia sama Ukraina konflik dan kita tahu Rusia-Ukraina ini adalah gudangnya pangan, juga energi, gandum, segala macam dari sana," jelasnya dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, Jumat (9/12/2022).

Lebih lanjut, dia mengatakan kondisi global ini disebut VUCA. VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Singkatan ini menggambarkan kondisi dunia yang saat ini tengah kita rasakan, dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.

"Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity," terangnya.

Dia menilai kondisi inilah yang menyebabkan inflasi tinggi di Amerika dan Eropa yang kemudian memicu mereka untuk mengambil kebijakan moneter menaikkan suku bunga. Menurutnya, ada kekagetan yang dirasakan negara maju ketika inflasinya berada di kisaran 9% hingga 10% padahal umumnya inflasi mereka hanya berkisar di 2%.

"Negara berkembang ya inflasi bisa tinggi sekali tapi negara maju nggak pernah, kaget mereka dan apa yang dilakukan? dihajar dengan suku bunga. Suku bunganya dinaikin terus sampai akhirnya itu fed fund rates itu bayangkan kalau awal tahun masih 0,25% posisi sekarang sudah di 3,75 sampai 4%, naik 400 basis poin, kenapa ekonomi nggak langsung terpuruk," paparnya.

Namun, menurutnya langkah yang diambil negara maju dalam menaikkan suku bunga untuk menangani inflasi kurang tepat. Pasalnya, penyebab inflasi datang dari sisi supply sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan yang seharusnya diambil ketika masalahnya berasal dari sisi demand-nya.

"Kenapa mereka naikkan seperti itu? Karena mereka mau menangani inflasi. Inflasi mereka sampai 9% jadi mereka berusaha untuk menangani inflasi dengan kebijakan moneter, padahal masalahnya supply side. Kalau kita bicara kebijakan moneter kan kita lebih fokus demand side," pungkasnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

BI Ramal Inflasi RI Tetap Tinggi pada 2023, Tembus di Atas 4%


(haa/haa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading