Krisis 2022 Belum Kelar, 2023 Sudah Dibayangi Awan Gelap
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini seharusnya menjadi kebangkitan ekonomi dunia setelah pandemi Covid-19. Sebaliknya, 2022 ditandai dengan perang baru, rekor inflasi, dan bencana terkait iklim.
Tak heran jika 2022 disebut sebagai tahun "polikrisis", sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Adam Tooze. Akibat kemunduran yang terjadi tahun ini, masyarakat dunia harus bersiap untuk lebih banyak menghadapi kesuraman pada 2023.
"Jumlah krisis telah meningkat sejak awal abad ini. Sejak Perang Dunia Kedua, kami belum pernah melihat situasi serumit ini," kata Roel Beetsma, profesor ekonomi makro di Universitas Amsterdam, dikutip dari AFP, Rabu (7/12/2022).
Setelah krisis ekonomi akibat Covid pada 2020, harga konsumen mulai naik pada 2021 karena negara-negara mulai menghentikan lockdown atau pembatasan lainnya.
Kala itu, bank sentral bersikeras bahwa inflasi yang tinggi hanya akan bersifat sementara karena ekonomi kembali normal. Namun, serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari kemudian membuat harga energi dan pangan melonjak.
Banyak negara sekarang bergulat dengan krisis biaya hidup karena upah tidak mengikuti inflasi. Ini memaksa rumah tangga membuat pilihan sulit dalam pengeluaran mereka.
Sementara itu, bank sentral mulai menaikkan suku bunga tahun ini sebagai upaya menjinakkan kenaikan inflasi. Hal ini pun berisiko mendorong negara ke dalam resesi yang dalam, karena biaya pinjaman yang lebih tinggi berarti aktivitas ekonomi yang lebih lambat.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut harga konsumen di kelompok negara G20 diperkirakan akan mencapai 8% pada kuartal keempat sebelum turun menjadi 5,5% tahun depan.
Sementara di 27 negara Uni Eropa, 674 miliar euro sejauh ini telah dialokasikan untuk melindungi konsumen dari harga energi yang tinggi. Jerman, ekonomi terbesar Eropa dan paling bergantung pada pasokan energi Rusia, menyumbang 264 miliar euro dari jumlah tersebut.
Ekonom memperkirakan Jerman dan ekonomi utama zona euro lainnya, Italia, jatuh ke dalam resesi. Perekonomian Inggris sudah menyusut. Lembaga pemeringkat S&P Global bahkan memperkirakan stagnasi untuk zona euro pada tahun 2023.
Naiknya suku bunga juga merugikan konsumen dan bisnis, meskipun Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell memberi isyarat pekan lalu bahwa laju kenaikan dapat mereda segera pada Desember 2022.
Powell memperingatkan bahwa kebijakan mungkin harus tetap ketat untuk beberapa waktu untuk memulihkan stabilitas harga.
Sementara itu, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde mengirimkan sinyal yang jelas bahwa ECB akan mempertahankan kebijakan pengetatannya, dengan mengatakan bahwa inflasi zona euro belum mencapai puncaknya.
Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) masih mengharapkan ekonomi dunia tumbuh pada 2023, dengan pertumbuhan 2,7%. Adapun, OECD memperkirakan pertumbuhan 2,2%.
(luc/luc)