CNBC Indonesia Research

ESDM Terbitkan Aturan Krisis Energi, Bakal Terjadi di RI?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
17 November 2022 10:10
PLTU Sumsel 8
Foto: PLTU Sumsel 8 (Dok.PT Bukit Asam Tbk (PTBA))

Jakarta, CNBC Indonesia - 'Krisis energi' bak sebuah kalimat yang mengerikan saat ini, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Apalagi, sejak perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu kondisi negara-negara dunia tetap mesti waspada. Begitu juga yang dilakukan Indonesia.

Belajar dari Uni Eropa (UE), Beberapa waktu lalu Eropa mengalami krisis listrik yang berdampak pada kebijakan pemadaman di sejumlah daerah hingga melonjaknya tagihan listrik warga. Krisis listrik terjadi akibat seretnya pasokan gas dari Rusia.

Krisis energi berpotensi terjadi dan bakal menjadi masalah serius. Ini diungkapkan oleh pejabat-pejabat di Eropa.

Sementara di sektor telekomunikasi, karena krisis energi, banyak negara yang mengadopsi langkah-langkah hemat energi di Eropa. Krisis energi akan memaksa perusahaan dan pemerintah untuk mencari cara untuk mengurangi dampak tersebut.

Terbaru, dunia tengah mengalami lonjakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diesel sebagai imbas dari menipisnya pasokan diesel di pasar internasional.

Isu krisis energi pun tak bisa dianggap main-main oleh Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengeluarkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No.41 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan atau Darurat Energi.

Peraturan ini ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 17 Oktober 2022 dan berlaku sejak diundangkan pada 18 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.

Lantas kenapa tiba-tiba pemerintah mengeluarkan peraturan ini? Apakah tandanya RI harus bersiap akan terkena krisis energi seperti yang tengah dialami berbagai negara di penjuru dunia? Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkali-kali menegaskan Indonesia harus hati-hati terhadap ancaman krisis di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.

Belajar dari hal tersebut, bukan berarti Indonesia bisa aman-aman saja dan terbebas dari krisis energi. Mengingat bahwa perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina belum juga mereda hingga saat ini.

Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia dinilai harus tetap waspada atas ketidakpastian kondisi geopolitik dunia. Pasalnya, ini bisa berdampak buruk bagi pasokan maupun harga energi di Tanah Air.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2022 Indonesia mengimpor minyak mentah sebanyak 1,31 juta ton. Volume ini berkurang 654,8 ribu ton atau turun 33,38% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mom).

Namun, jika dibandingkan dengan Agustus 2021 volume impor tersebut bertambah 196 ribu ton atau naik 17,64% (year-on-year/yoy).

Secara kumulatif, sepanjang periode Januari-Agustus 2022 volume impor minyak mentah Indonesia sudah mencapai 9,77 juta ton, naik juga 2,55% dibanding Januari-Agustus tahun lalu.

Pada Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2022 ini disebutkan bahwa penetapan dan penanggulangan krisis energi dan atau darurat energi dilakukan terhadap jenis energi yang digunakan untuk kepentingan publik sebagai pengguna akhir secara nasional. Adapun jenis energinya meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM), tenaga listrik, Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan gas bumi.

Permen ini disusun sebagai langkah antisipatif apabila terjadi keadaan krisis energi atau darurat energi. Krisis energi merupakan kondisi kekurangan energi. Sedangkan darurat energi adalah kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana.

Pertimbangan menetapkan krisis energi dilihat dari cadangan operasional minimum dan kebutuhan minimum. Sementara penetapan darurat energi mempertimbangkan tingkat kesulitan dan lamanya waktu penanganan gangguan sarana dan prasarana energi.

Lantas, Bagaimana Kondisi Supply Energi di Indonesia? >>> Baca di halaman selanjutnya

Tenaga Listrik

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan bahwa PT PLN (Persero) saat ini tengah mengalami persoalan kelebihan pasokan (over supply) listrik. Bahkan, hingga akhir tahun ini diperkirakan kelebihan pasokan listrik mencapai 6 Giga Watt (GW).

Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana. Menurut Rida, hingga akhir tahun persoalan kelebihan pasokan listrik yang didera oleh PLN masih akan terjadi.

"6 GW (over supply listrik) kalau akhir tahun ini, yang tahu persis kan di PLN," ungkap Rida dalam catatan CNBC Indonesia.

Secara statistik, jika kita lihat data energi yang di produksi PLN sejak tahun 2012 hingga 2021 masih mencatatkan produksi yang memadai. Artinya, setiap tahun produksi selalu melebihi dari konsumsi.

Tahun 2021, produksi listrik dari PLN mencapai 289.470,57 GWh. Dari produksi total PLN tersebut, energi listrik yang dibeli dari luar PLN sebesar 106.496,69 GWh (36,79%). Pembelian energi listrik tersebut meningkat 9.337,95 GWh atau 9,61% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kelebihan pasokan (over supply) listrik yang terjadi di PT PLN (Persero) salah satunya adalah imbas dari kebijakan pembangunan mega proyek ketenagalistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 35.000 Mega Watt (MW).

Saat merencanakan program raksasa tersebut, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,4% per tahun. Namun rupanya realisasinya dari tahun 2015-2021 hanya mencapai 3,5%.

Oleh sebab itu, di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2021-2030 proyeksi pertumbuhan permintaan listrik diturunkan dengan skenario moderat yakni 4,9% per tahun. Namun demikian, ia pesimistis permintaan sebesar itu sampai 2030 akan tercapai.

Liquefied Petroleum Gas (LPG)

Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengungkapkan masa depan cerah bagi produksi gas bumi Tanah Air yang saat ini 68% digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sejumlah proyek lifting gas terus dipercepat proses eksplorasi dan produksi sehingga dapat menjadi harapan peningkatan lifting gas RI yang saat ini mencapai 5.400 BOEPD. Namun demikian kondisi kilang gas yang belum memadai untuk memproduksi LPG membuat RI masih harus mengimpor LPG meski pasokan gas melimpah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan dengan cadangan terbukti sekitar 41,62 TCF. Meski cadangannya tidak signifikan dibandingkan cadangan dunia, Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial yang belum tereksplorasi yang ditawarkan kepada investor.

Sementara jika melihat data BP, Berdasarkan data BP, produksi gas Indonesia sebesar 59,29 miliar meter kubik pada 2021. Angka tersebut turun 0,41% dibanding tahun sebelumnya.

Dengan demikian, produksi gas nasional turun untuk yang ke sepuluh kalinya dalam satu dekade terakhir seperti terlihat pada grafik. Jika dibandingkan dengan posisi 2021, produksi gas Indonesia turun 19,01 miliar kubik (24,27%).

Sementara, konsumsi gas Indonesia pada 2021 sebesar 37,08 miliar meter kubik. Angka tersebut turun 1,16% dari tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan posisi 2012, konsumsi gas domestik juga turun 5,89 miliar meter kubik (13,71%).

Berdasarkan data tersebut, penurunan produksi gas lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi membuat neraca gas Indonesia menyempit menjadi 22,21 miliar meter kubik pada 2021 dibandingkan satu dekade lalu yang mencapai 35,33 miliar meter kubik.

Kendati demikian, berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2022-2030, Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dari lapangan migas yang ada. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia juga diperkirakan akan mengalami surplus gas hingga 1715 MMSCFD yang berasal dari beberapa proyek potensial.

Namun demikian, Indonesia saat ini masih bergantung pada Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang diimpor dari negara lain.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kondisi ini terjadi karena kapasitas produksi kilang LPG yang dimiliki Indonesia saat ini jumlahnya terbatas, sehingga sebagian besar dari kebutuhan LPG domestik harus dipenuhi dari impor.

Kuota LPG Indonesia per tahunnya dipatok sebesar 8 juta metrik ton. Sementara, kapasitas produksi kilang LPG RI hanya sebesar 1,9 juta metrik ton.

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan bahwa impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) Indonesia mencapai Rp80 triliun. Nilai impor itu pun katanya masih harus disubsidi lagi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp60 triliun hingga Rp70 triliun supaya bisa dinikmati masyarakat dengan harga murah.

Bahan Bakar Minyak (BBM)

Persediaan dan ketahanan stok bahan bakar minyak (BBM) menjadi salah satu yang penting diperhatikan. Pemerintah mengungkapkan bahwa dari sisi cadangan BBM nasional juga disebutkan masih berada pada level aman, yakni 20 hari.

Diketahui, saat ini pemerintah berusaha untuk terus menambah kilang minyak, diupayakan dari percepatan program RDMP (Refinery Development Master Plan) kilang minyak dan GRR (Grass Root Refinery).

Melihat data Kementerian ESDM, produksi dan lifting migas di Indonesia masih terbilang aman dan belum mengalami penurunan yang drastis.

Di tengah krisis dan ketidakpastian global, pemerintah tetap terus menjaga ketahanan energi negeri ini. Tangki-tangki BBM terus diupayakan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Meskipun Masih Aman, RI Tetap Kudu Waspada!

Namun demikian, Indonesia tetap mesti waspada atas pergerakan harga minyak dunia. Pasalnya, Indonesia kini masih mengimpor minyak maupun BBM dan LPG. Bila harga minyak dan gas dunia naik, maka ini juga akan berdampak pada lonjakan harga energi di Tanah Air.

Dinamika ini membawa pengaruh subsektor migas, utamanya pergerakan harga minyak mentah yang cukup volatile di November US$ 92,31 per barel dan masih dinamis. Namun pergerakan ini yang cukup tinggi perlu diantisipasi importir karena akan memengaruhi nilai tukar, inflasi, dan neraca pembayaran.

Pada perdagangan Rabu (17/11/2022) harga minyak Brent tercatat US$92,86 per barel, sementara minyak jenislight sweetatau West Texas Intermediate (WTI) menjadi US$85,6 per barel.

Mengacu pada data-data di atas, hingga saat ini Indonesia tidak sedang mengalami krisis energi atau akan mengalaminya. Bahkan indeks ketahanan energi Indonesia tergolong aman.

Ada 4 variabel yang menjadi tolak ukur ketahanan energi. Keempatnya adalah ketersediaan energi, harga, infrastruktur dan lingkungan.

Namun krisis energi tetap harus diantisipasi. Untuk mengantisipasi potensi krisis tersebut, diterbitkanlah peraturan ini yang juga diamanatkan untuk identifikasi dan pemantauan kondisi kebutuhan energi. Lembaga yang dilibatkan antara lain Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal DEN, Kepala BPH Migas, serta pimpinan Badan Usaha.

Identifikasi dan pemantauan harus selalu dilakukan terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi di seluruh wilayah usaha, pengumpulan data peta spasial infrastruktur energi, dan penyusunan langkah-langkah penanggulangan krisis energi atau darurat energi yang diselenggarakan secara terkondisi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum) Next Article Jerman 'Sekarat', Beri Peringatan Baru soal Krisis Energi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular