ESDM Terbitkan Aturan Krisis Energi, Bakal Terjadi di RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - 'Krisis energi' bak sebuah kalimat yang mengerikan saat ini, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Apalagi, sejak perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu kondisi negara-negara dunia tetap mesti waspada. Begitu juga yang dilakukan Indonesia.
Belajar dari Uni Eropa (UE), Beberapa waktu lalu Eropa mengalami krisis listrik yang berdampak pada kebijakan pemadaman di sejumlah daerah hingga melonjaknya tagihan listrik warga. Krisis listrik terjadi akibat seretnya pasokan gas dari Rusia.
Krisis energi berpotensi terjadi dan bakal menjadi masalah serius. Ini diungkapkan oleh pejabat-pejabat di Eropa.
Sementara di sektor telekomunikasi, karena krisis energi, banyak negara yang mengadopsi langkah-langkah hemat energi di Eropa. Krisis energi akan memaksa perusahaan dan pemerintah untuk mencari cara untuk mengurangi dampak tersebut.
Terbaru, dunia tengah mengalami lonjakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diesel sebagai imbas dari menipisnya pasokan diesel di pasar internasional.
Isu krisis energi pun tak bisa dianggap main-main oleh Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengeluarkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No.41 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan atau Darurat Energi.
Peraturan ini ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 17 Oktober 2022 dan berlaku sejak diundangkan pada 18 Oktober 2022 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Lantas kenapa tiba-tiba pemerintah mengeluarkan peraturan ini? Apakah tandanya RI harus bersiap akan terkena krisis energi seperti yang tengah dialami berbagai negara di penjuru dunia? Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkali-kali menegaskan Indonesia harus hati-hati terhadap ancaman krisis di tengah ketidakpastian geopolitik dunia.
Belajar dari hal tersebut, bukan berarti Indonesia bisa aman-aman saja dan terbebas dari krisis energi. Mengingat bahwa perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina belum juga mereda hingga saat ini.
Sebagai negara pengimpor minyak, Indonesia dinilai harus tetap waspada atas ketidakpastian kondisi geopolitik dunia. Pasalnya, ini bisa berdampak buruk bagi pasokan maupun harga energi di Tanah Air.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2022 Indonesia mengimpor minyak mentah sebanyak 1,31 juta ton. Volume ini berkurang 654,8 ribu ton atau turun 33,38% dari bulan sebelumnya (month-on-month/mom).
Namun, jika dibandingkan dengan Agustus 2021 volume impor tersebut bertambah 196 ribu ton atau naik 17,64% (year-on-year/yoy).
Secara kumulatif, sepanjang periode Januari-Agustus 2022 volume impor minyak mentah Indonesia sudah mencapai 9,77 juta ton, naik juga 2,55% dibanding Januari-Agustus tahun lalu.
Pada Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2022 ini disebutkan bahwa penetapan dan penanggulangan krisis energi dan atau darurat energi dilakukan terhadap jenis energi yang digunakan untuk kepentingan publik sebagai pengguna akhir secara nasional. Adapun jenis energinya meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM), tenaga listrik, Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan gas bumi.
Permen ini disusun sebagai langkah antisipatif apabila terjadi keadaan krisis energi atau darurat energi. Krisis energi merupakan kondisi kekurangan energi. Sedangkan darurat energi adalah kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana.
Pertimbangan menetapkan krisis energi dilihat dari cadangan operasional minimum dan kebutuhan minimum. Sementara penetapan darurat energi mempertimbangkan tingkat kesulitan dan lamanya waktu penanganan gangguan sarana dan prasarana energi.
Lantas, Bagaimana Kondisi Supply Energi di Indonesia? >>> Baca di halaman selanjutnya
(aum/aum)