Bikin Shock! Warga RI Beli Rokok 2x Lebih Gede Dari Telur

Maesaroh, CNBC Indonesia
16 November 2022 17:40
Rokok Murah
Foto: Penjualan Rokok Murah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rokok telah menjadi kebutuhan utama bagi sebagian besar warga Indonesia. Pengeluaran untuk rokok bahkan jauh lebih besar dibandingkan untuk bahan makanan lain seperti telur, susu, daging, hingga padi-padian.

Hasil Susenas September 2021 menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita untuk konsumsi adalah sebesar Rp 1.281.327 per bulan. Pengeluaran untuk makanan sebesar 49,30% sementara untuk non-makanan sebesar 50,70%.

Lima kelompok komoditas makanan dengan pengeluaran terbesar adalah makanan dan minuman jadi (32%), rokok dan tembakau (12,50%), padi-padian (11,08%), sayur-sayuran (8,41%), dan ikan/udang/cumi/kerang (7,70%).

Rata-rata pengeluaran per kapita untuk makanan dan minuman jadi mencapai Rp 201.671 sebulan.



Rokok ada di urutan kedua dengan jumlah pengeluaran menyentuh Rp 78.972 per bulan.
Pengeluaran rokok dan tembakau di wilayah perkotaan lebih besar yakni Rp 81.153 sementara di wilayah pedesaan mencapai Rp 77.338.

Rokok kretek filter masih menjadi favorit dengan rata-rata konsumsi dan pengeluaran per kapita seminggu terbesar mencapai Rp 14.273.

Rokok kretek tampa filter ada di urutan kedua dengan nilai pengeluaran mingguan Rp 2.602 disusul kemudian rokok putih sebesar Rp 1.139, tembakau sebesar Rp 216 serta rokok dan tembakau lainnya sebesar Rp 197.

Di bawah rokok, konsumsi masyarakat Indonesia tersedot untuk padi-padian termasuk beras dengan total pengeluaran mencapai Rp 69.961/bulan. Menyusul kemudian ikan/udang/cumi/kerang dengan pengeluaran bulanan mencapai Rp 53.118 sementara sayur-sayuran menyentuh Rp 48.654.

Telur dan susu ada di urutan enam dengan pengeluaran mencapai Rp 35.310. Jika dibandingkan dengan rokok, pengeluaran masyarakat Indonesia untuk membeli rokok/tembakau dua kali lipat lebih besar dibandingkan untuk telur dan susu.

Pengeluaran besar ketujuh adalah untuk daging yakni Rp 29.907 disusul kemudian dengan buah-buahan sebesar Rp 27.792, bahan minuman sebesar Rp 19.547, minyak dan kelapa sebesar Rp 17.277. kacang-kacangan sebesar Rp 14.480, bumbu-bumbuan sebesar Rp 13.910 dan umbi-umbian sebesar Rp 8.355.

Selain menjadi pengeluaran per kapita terbesar kedua, rokok juga menjadi penyumbang kemiskinan nomor dua di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp 505.469/kapita/bulan. Garis kemiskinan makanan sebesar Rp 374.455 (74,08%) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp 131.014 (25,92%).

Komoditas makanan yang menjadi penyumbang terbesar kemiskinan adalah beras dengan prosentase 23,04% untuk wilayah perdesaan dan 19,38% untuk perkotaan.

Rokok menjadi penyumbang kedua dengan bobot 11,63% untuk perdesaan dan 12,21 di perkotaan. Telur ayam ras dan daging ayam ras ada di tempat ketiga dan keempat sebagai komoditas penyumbang kemiskinan.

Di bawahnya ada mie instan, gula pasir, kopi buuk & kopi instan, bawang merah, roti, tongkol/tuna/cakalang, tempe, tahu, cabai rawit, dan kue basah.

Besarnya pengeluaran rokok dan telur/susu ini pernah disorot Sri Mulyani. Menteri Keuangan RI tersebut mengatakan besarnya konsumsi rokok inilah yang coba di tekan pemerintah dengan menaikkan cukai rokok.

"Ini (rokok) kedua tertinggi sesudah beras, melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu dan tempe," katanya, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (3/11/2022).

Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebut biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9-27,7 triliun setahun. Dari total biaya ini, sekitar Rp 10,5-15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Nilai tersebut setara dengan 20-30% dari subsidi  Penerima Bantuan Iuran Jaminan KesehatanPBI JKN per tahun yang mencapai Rp 48,8 triliun.

Biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif karena penyakit, disabilitas dan kematian dini akibat merokok diperkirakan mencapai Rp 374 triliun pada 2015.

Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan adanya peningkatan perokok di tengah pandemi. Jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam 10 tahun dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta pada 2021.

Survei sejumlah lembaga juga menunjukan bahwa pandemi tidak mengurangi jumlah perokok. Namun, mereka mulai beralih ke rokok yang lebih murah.
Laporan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukan 42$ dari perokok persisten saat ini mengatakan akan mengurangi pengeluaran untuk merokok dan 24% dari mereka beralih ke rokok yang lebih murah.

Sementara itu, riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) menunjukkan kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah masih melanjutkan untuk merokok saat pandemi meskipun kesulitan secara ekonomi dan cenderung untuk beralih ke rokok yang lebih murah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular