CNBC Indonesia Research
Kisah Sedih Emiten Rokok! Dulu Berjaya, Kini Nelangsa

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah yang konsisten menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) membuat saham-saham produsen rokok semakin tidak populer.
Tren kenaikan CHT setiap tahunnya membuat masa-masa kejayaan emiten rokok semakin pudar. Asal tahu saja sejak 2016-2021, pemerintah hanya absen menaikkan tarif CHT pada 2019.
Namun dalam kurun waktu tersebut rata-rata kenaikan tarif CHT mencapai 11,21%. Kenaikan tarif CHT tentu saja berdampak pada peningkatan beban yang harus ditanggung oleh perusahaan rokok.
Di Indonesia sendiri ada 2 produsen rokok terbesar yang merupakan perusahaan publik yaitu PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Untuk GGRM, pendapatannya masih mengalami kenaikan hampir 11% per tahunnya. Sedangkan untuk HMSP pendapatannya cenderung lebih berfluktuasi.
Kendati dari sisi pendapatan masih mencatatkan growth, tetapi dari sisi marjin laba kotor atau Gross Profit Margin (GPM) kedua emiten tersebut konsisten mengalami penurunan.
Pada 2016 rasio GPM HMSP masih 25%. Namun tahun lalu rasio GPM HMSP turun menjadi 17%. Sementara untuk kasus HMSP rasio GPM turun dari 22% pada 2016 menjadi 11% pada 2021.
Tahun | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 |
Cukai Rokok | 11.19% | 10.54% | 10.04% | 0% | 23% | 12.50% |
Revenue HMSP | 95.5 | 99.1 | 106.7 | 106.1 | 92.4 | 98.9 |
Gross Profit HMSP | 23.9 | 24.2 | 25.5 | 26.1 | 18.8 | 16.9 |
GPM HMSP | 25% | 24% | 24% | 25% | 20% | 17% |
Revenue GGRM | 76.3 | 83.3 | 95.7 | 110.5 | 114.5 | 124.9 |
Gross Profit GGRM | 16.6 | 18.2 | 18.6 | 22.8 | 17.4 | 14.3 |
GPM GGRM | 22% | 22% | 19% | 21% | 15% | 11% |
Sumber : Laporan keuangan emiten , seluruh nilai dalam satuan Rp triliun kecuali rasio
Penurunan rasio marjin tersebut diakibatkan karena kenaikan tarif CHT tidak serta merta langsung membuat perusahan menaikkan harga jual rokoknya.
Ini yang sebenarnya menjadi dilematis karena jika harga jual rokok dinaikkan tentu berdampak pada volume penjualan. Sementara jika tidak dinaikkan maka marjin akan tergerus.
Namun selama ini para produsen masih memilih opsi yang kedua karena kompotisi di pasar yang sengit. Laju kenaikan harga jual rokok jauh lebih rendah dari kenaikan tarif CHT.
Strategi tersebut dilakukan demi menjaga pangsa pasar tidak tergerus dan tetap kompetitif. Namun hasilnya adalah mengorbankan marjin.
Penurunan marjin yang konsisten ini membuat saham-saham emiten rokok semakin kurang diminati. Harga sahamnya pun turun drastis.
Sebagai gambaran, per akhir tahun 2018, nilai kapitalisasi pasar GGRM sempat mencapai Rp 160,9 triliun. Namun kini sisa Rp 41,8 triliun. Artinya dalam kurun waktu kurang dari 4 tahun harga saham GGRM anjlok 74%.
Senada dengan GGRM, nilai kapitalisasi pasar HMSP juga susut drastis setelah sempat menjadi saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa lokal. Puncak kejayaan HMSP ada di tahun 2017. Kala itu nilai kapitalisasi pasarnya tembus Rp 550,2 triliun. Namun per akhir 2018 market cap perusahaan rokok yang satu ini susut menjadi Rp 431,5 triliun dan kini tersisa Rp 108,8 triliun.
Penurunan harga saham yang drastic dari emiten-emiten rokok tersebut membuat keduanya harus terlempar dari klasemen top 10 saham dengan market cap terbesar di bursa.
Bagaimanapun juga tekanan bisnis yang dihadapi keduanya masih terus berlanjut. Tahun 2022 tarif CHT naik 12%. Per September 2022, GPM HMSP hanya 15%, sedangkan kompetitornya yaitu GGRM hanya mencatatkan GPM sebesar 8% saja.
Tahun 2023 dan 2024 kondisinya masih sama. Tarif CHT telah ditetapkan naik 10%. Apabila laju kenaikan tarif CHT masih jauh lebih tinggi dari harga jual produk, maka marjin akan terus tergerus.
[Gambas:Video CNBC]
IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?
(trp/trp)