
China-AS Kacau, Anak Buah Sri Mulyani Ungkap Titik Cerah RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, mengungkapkan Indonesia setidaknya akan mengalami dua tekanan sekaligus, dari melemahnya ekonomi China dan Amerika Serikat (AS).
Resesi global ditandai dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, melandainya permintaan dari negara maju, melemahnya harga komoditas, dan terjadinya arus pembalikan modal (capital reserval).
Perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta permintaan dari negara maju sudah terasa sejak kuartal II-2022. Secara teknikal, Amerika Serikat (AS) bahkan sudah memasuki resesi pada April-Juni tahun ini.
China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah AS pun tak berkutik. Ekonomi Negara Tirai Bambu tumbuh 0,4% pada kuartal II-2022 (year on year/yoy), jauh lebih rendah dibandingkan 4,8% pada kuartal I-2022.
Kepala Bidang Analisis Fiskal, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro BKF Abdurrahman menjelaskan, sumbangan ekspor Indonesia ke China mencapai 20% dan ke AS mencapai 11%.
"Jadi kedua negara tersebut punya dampak besar terhadap ekonomi nasional. [...] Transmisi dampak dari ekonomi global ke ekonomi kita, channel perdagangan juga sektor keuangan," jelas Abdurrahman kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (4/11/2022).
Kendati demikian, menurut Abdurrahman dampak pelemahan ekonomi China ke neraca perdagangan tanah air tidak akan berdampak signifikan.
"Ekspor kita ke China lebih banyak energi dan CPO, juga besi, baja yang mendominasi ekspor kita ke China. Makanya kita belum melihat adanya perlambatan yang dalam," ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, China masih menjadi pangsa pasar terbesar ekspor nonmigas RI dengan US$ 6,1 miliar atau 26,2% per September 2022. Bahkan pangsa ekspor nonmigas ke China mengalami peningkatan selama pandemi.
Adapun, dampak dari pelemahan ekonomi di AS, kata Abdurahman akan terdampak terhadap sektor keuangan Indonesia. Apalagi pada saat inflasi di Negeri Paman Sam tersebut masih bergerak 'liar' pada level 8,82% per September 2022.
Untuk menekan inflasi, Bank Sentral AS secara agresif melakukan kenaikan suku bunga acuan, yang saat ini sudah menyentuh 3,75% - 4%.
"Jadi banyak negara yang pasar keuangannya mengalami guncangan dan menimbulkan capital outflow yg pada akhirnya melemahkan nilai tukar mata uangnya, dan kalau kita lihat hampir semua negara berkembang [termasuk Indonesia], jelas Abdurrahman.
Kendati demikian, pasar keuangan Indonesia dinilai Abdurrahman cukup tahan dalam menghadapi guncangan gejolak ekonomi ke depan. BI melaporkan, CAR pada Agustus 2022 tetap tinggi sebesar 25,12%
"Sektor keuangan kita, perbankan khususnya, Capital Adequacy Ratio (CAR) di atas 25% saat ini, tertinggi di Asia. Jadi, saya kira cukup kuat jika terjadi guncangan," kata Abdurrahman lagi.
CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan perbankan dalam menyediakan dana yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan risiko kerugian.
Rasio ini penting karena dengan menjaga CAR pada batas aman (minimal 8%), berarti juga melindungi nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Semakin besar nilai CAR mencerminkan kemampuan perbankan yang semakin baik dalam menghadapi kemungkinan risiko kerugian.
(dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonom Bicara Laju Ekonomi China, Cerah atau Suram Nih?