Kacau! IHSG Sesi I Berakhir Longsor, Tinggalkan Level 7.000an

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada penutupan perdagangan sesi I Jumat (4/11/2022), pelaku pasar khawatir pasca bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang mengindikasikan suku bunga bisa lebih tinggi yang akan memicu resesi membuat sentimen pasar kian memburuk.
Indeks acuan Tanah Air dibuka diposisi 7.034,57 pagi tadi dan ditutup dengan koreksi yang makin dalam tepatnya melemah 0,76% atau 53,64 poin, ke 6.980,94 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB.
Nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 6,28 triliun dengan melibatkan lebih dari 13 miliar saham yang berpindah tangan 742 kali.
Melihat pergerakan perdagangan, selang 1 menit saja indeks terpantau longsor 0,2% ke 7.020,13. Sempat menyentuk zona hijau, nyatanya IHSG tak mampu terangkat dan kembali jatuh ke zona koreksi.
Pukul 10:27 WIB koreksi IHSG semkain dalam 0,61% ke 6.991,69 dan konsisten merah hingga akhir perdagangan sesi I. Dengan ini indeks pun sudah terlempar keluar dan meninggalkan level psikologis 7.000.
Level tertinggi berada di 7.038,2 sekitar 7 menit setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 6.973,79 sesaat sebelum perdagangan ditutup. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami penurunan.
Statistik perdagangan mencatat ada 347 saham yang melemah dan 159 saham yang mengalami kenaikan, serta sisanya sebanyak 170 saham stagnan.
Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 449,4 miliar. Sedangkan saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 256,4 miliar dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di posisi ketiga sebesar Rp 203,7 miliar.
Pergerakan IHSG siang ini mengekor Wall Street yang kembali ambrol pada perdagangan semalam. Indeks Dow Jones Industrial Average diperdagangkan 146 poin lebih rendah, atau melemah 0,46%. S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing turun 1,06% dan 1,73%.
Pelemahan indeks saham acuan diakibatkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) surat utang negara AS seiring dengan pelaku pasar yang terus mencerna kebijakan Fed.
Sebenarnya pelaku pasar telah mengantisipasi adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) dalam pertemuan bulan November 2022. The Fed kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin ke 3,75% - 4%.
Namun Ketua Fed Jerome Powell mengatakan masih "prematur" untuk membahas jeda kenaikan suku bunga dan bahwa suku bunga terminal kemungkinan akan lebih tinggi dari yang dinyatakan sebelumnya.
"Kami masih memiliki beberapa kali kenaikan suku bunga lagi, dan data yang kami lihat sejak pertemuan terakhir menunjukkan tingkat suku bunga bisa lebih tinggi dari yang sebelumnya diperkirakan," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.
Pasca penyataan tersebut, pelaku pasar melihat suku bunga The Fed bisa berada di 5,25% pada awal tahun depan. Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat ada probabilitas sebesar 46% suku bunga The Fed berada di 5% - 5,25% pada Maret 2023.
Dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi, maka peluang Amerika Serikat untuk lepas dari resesi atau soft landing di 2023 semakin menyempit. Hal itu juga diakui oleh Powell.
"Apakah peluang soft landing semakin kecil? iya. Apakah itu masih mungkin terjadi? tentu saja," kata Powell.
Tetapi Powell untuk bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi di 2023 adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab suku bunga masih perlu dinaikkan tinggi guna meredam inflasi. Tidak hanya Amerika Serikat, banyak negara diperkirakan akan mengalami resesi tahun depan.
Pasar kemungkinan akan terus mengalami gonjang-ganjing sampai inflasi telah mendingin dan The Fed berhenti menaikkan suku bunga lebih tinggi.
Pasar masih terbebani dengan gagasan bahwa harapan suku bunga kembali dipangkas adalah hal yang terlalu dini dilakukan di tengah inflasi yang tetap tinggi.
Namun di sisi lain kebijakan moneter yang agresif juga membuat perekonomian bisa melambat. Sayangnya perlambatan ekonomi masih belum tercermin terutama dari sisi data ketenagakerjaan AS.
Data Initial Jobless Claims AS dilaporkan mencapai 217 ribu hingga 29 Oktober 2022. Angka tersebut lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 218 ribu. Bahkan angka initial jobless claims juga di bawah perkiraan konsensus pasar yang memproyeksi akan ada 220 ribu.
Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat di satu sisi juga memicu adanya ekspektasi bahwa pengetatan moneter masih bisa dilanjutkan karena kuatnya ketenagakerjaan dan upah akan cenderung mendorong inflasi naik.
Kendati demikian, Indonesia jauh dari resesi. Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi nasional pada kuartal III-2022 bisa tembus di atas 5,5% (year on year). Capaian ini akan lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF), sebelumnya memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3% tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5% pada tahun depan. Hal ini juga sekaligus menandakan Indonesia tidak alami perlambatan ekonomi atau jatuh ke jurang resesi, seperti yang dialami banyak negara lain.
Namun, Indonesia harus tetap waspada dan tak bisa terus-terusa berbangga hati. Kita boleh selamat terhadap resesi namun menggilanya AS bisa membuat mata uang tertekan dan ancaman kaburnya asing dari RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Sempat Menguat di Sesi 1, IHSG Hari Ini Ditutup Melemah
(aum/aum)