Sakit Menahun, 2 Pabrik Garmen di Purwakarta Tutup
Jakarta, CNBC Indonesia - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat mencatat, tahun ini ada 2 pabrik garmen (pakaian jadi/ tekstil hilir)di Purwakarta yang harus tutup. Yaitu, PT HS Apparel dan PT Starpia.
Kedua perusahaan itu tercatat mempunyai tenaga kerja 651 orang (HS Apparel) dan 1.553 orang (Stapia). Angka ini adalah jumlah karyawan di tahun 2021. Pada 2017, kedua perusahaan masing-masing masih memiliki 781 karyawan dan 3.158 karyawan.
"2 perusahaan di Purwakarta ini dalam artian memang sudah sakit berkepanjangan. Nggak cuma sekarang saja, tapi sudah kronis. (Kondisi sekarang) cuma pemantik saja," kata Analis Kebijakan Disnakertrans Jawa Barat Firman Desa kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/11/2022).
Data Disnakertrans Jawa Barat menunjukkan, tahun 2017 tercatat ada 22 perusahaan garmen di Purwakarta. Namun, di tahun yang sama, 1 perusahaan dilaporkan tutup.
Di tahun 2018, ada 2 perusahaan tutup, lalu tahun 2019 jumlah perusahaan yang tutup jadi 7.
Sepanjang tahun 2020-2021, tidak ada pertambahan jumlah perusahaan yang tutup.
Kemudian di tahun 2022, 2 perusahaan tutup, sehingga menjadi 9 perusahaan garmen yang tutup di Purwakarta per saat ini.
Industri garmen terserang penyakit kronis, kata Firman, berawal dari lonjakan upah minimum yang ditetapkan untuk tahun 2013.
"Sampai tahun 2012, Starpia itu masih punya tenaga kerja 15.000-20.000 orang. Lalu ada tsunami upah minimum yang naik sangat tinggi kala itu. Ini menghantam industri padat karya. Jumlah karyawan lalu turun terus sampai kemudian akhirnya tutup," kata Firman.
"Serangkaian tekanan dari global saat ini kemudian memperparah kondisi. Kalau dulu ada fasilitas dari Gubernur yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha, untuk penangguhan. Ada juga kebijakan upah minimum khusus padat karya," tambah dia.
Insentif Baru
Karena itulah, lanjut dia, pemerintah kini tengah melakukan pemetaan akibat tekanan efek domino perlambatan ekonomi global.
"Kementerian Ketenagakerjaan tengah melakukan pemetaan penyebab fenomena PHK saat ini. Salah satunya, karena industri memang belum sepenuhnya pulih dari efek domino tekanan pandemi Covid-19," kata dia.
"Lalu, pecah perang Rusia-Ukraina dan memperparah kondisi. Yang dampaknya sampai memicu penurunan bahkan pembatalan order di negara-negara tujuan ekspor. Akibatnya, efisiensi tenaga kerja," tutur Firman.
Pada saat bersamaan, dia menambahkan, kondisi ekonomi tahun 2023 dikhawatirkan bakal lebih lesu hingga memicu resesi global.
"Kita sudah buka dialog, termasuk dengan dewan pengupahan. Untuk mencari solusi bagi industri padat karya di Jawa Barat. Ada masukan akan ada kebijakan baru, cuma kita belum tahu seperti apa," ujarnya.
"Kalau zaman pandemi Covid-19 ada kebijakan dari pemerintah, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2/2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No 104/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja selama masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)," lanjutnya.
Menurut Firman, ada usulan kebijakan serupa diterbitkan lagi, khusus untuk menghadapi efek domino resesi global.
"Mirip-mirip kebijakan saat pandemi, tapi kali ini khusus untuk situasi saat krisis global. Tapi kita belum tahu bagaimana keputusan pemerintah pusat nanti bagaimana," pungkas Firman.
(dce/dce)