Perlambatan di kawasan Eropa, AS, serta China juga menjadi faktor dari semakin meningkatnya ancaman resesi tahun depan.
Setelah merdeka atau selama 76 tahun lebih, Indonesia sendiri sudah ditimpa banyak krisis dengan penyebab yang berbeda pula.
Indonesia menghadapi resesi sebanyak tiga kali yakni pada 1963, 1997/1998, dan 2020/2021. Dari tiga resesi tersebut, periode 1997/1998 akan dikenang sebagai resesi yang terburuk karena diiringi dengan tragedi kemanusiaan. Pada periode krisis lain, ekonomi Indonesia membuktikan bisa pulih dengan cepat.
1. Resesi 1963
Resesi pada 1963 dipicu oleh hiperinflasi. Kondisi ekonomi dan politik Indonesia pada saat itu dikucilkan dari dunia internasional karena sikapnya yang konfrontatif, seperti keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Inflasi melambung hingga 118,7% pada 1963 sementara ekonomi ambles. Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun tersebut terkontraksi 2,24%. Pengeluaran rumah tangga terkontraksi 3,95%, ekspor-impor terkontraksi 26,58% sementara investasi terkontraksi 23,69%.
Ekonomi Indonesia bangkit setelah itu bahkan mencatatkan pertumbuhan double digit 10,9% pada 1968. Perekonomian Indonesia membaik setelah periode kelam 1965 dan melonjak pada 1970an dan 1980an.
Pada periode 1990an awal, ekonomi Indonesia sebenarnya tengah dalam periode pertumbuhan yang tinggi di kisaran 6%. Inflasi Indonesia juga hanya berada di angka 5,1%.
2. Stagflasi 1970an
Stagflasi ekonomi pada tahun 1970-an dipicu oleh disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.
Saat itu, Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur.
Akibatnya, ini memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS sendiri, pasca kondisi tersebut tahun 1974-1982 inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%. Ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.
Banyak negara mencatatkan kontraksi pertumbuhan pada periode tersebut. Kondisi sebaliknya dinikmati Indonesia. Pada periode tersebut, Indonesia merupakan negara net eksportir minyak.
Harga minyak mentah yang melonjak pun membuat ekonomi Indonesia melaju kencang. Dilansir dari buku Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah karangan mantan Wakil Presiden Boediono, Indonesia akhirnya untuk pertama kalinya bisa berkesempatan merencanakan pembangunan dengan sangat baik pada periode 1970an.
Keseluruhan pengeluaran pembangunan pada 1974 bahkan mencapai 34 kali lebih tinggi dibandingkan 10 tahun sebelumnya,
"Indonesia mendapat berkah yang tidak terduga -harga ekspor utama Indonesia minyak bumi meningkat empat kali lipat pada 1974. Tiba-tiba terbuka ruang lebar bagi pemerintah untuk meningkatkan investasi. Rezeki minta memungkinkan Indonesia memasuki jalur cepat pembangunannya," tutur Boediono.
Selama 1970-1971, ekonomi Indonesia tumbuh 7,5%. Pada periode 1972-1980, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6,8%. periode 1970an juga dikenal sebagai awal industrialisasi Indonesia.
3. Krisis 19987/1998
Setelah melewati pertumbuhan tinggi, Indonesia mengalami resesi hebat pada 1998. Pada 1998, ekonomi terkontraksi hingga 13,16% sementara inflasi Indonesia melambung 77,63%.
Ekonomi domestik terkontraksi 6,4% pada kuartal I. Kontraksi semakin membesar menjadi 16,8% pada kuartal II dan 17,4% pada kuartal IV.
Resesi 1998 dipicu oleh Krisis Keuangan Asia. Krisis bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.
Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13% lebih.
Indonesia harus membayar mahal atas terjadinya krisis 1997/1998 yakni runtuhnya pemerintahan hingga krisis politik dan sosial yang mengakibatkan kerusuhan massal.
Krisis moneter bahkan sampai menjalar ke ranah politik dan sosial hingga menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun.
Resesi 1998 juga harus dibayar oleh kerusuhan masal dan empat korban jiwa dari mahasiswa yang berdemo menentang pemerintahan Soeharto.
Resesi pada 1998 juga melambungkan angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah 22,5 juta jiwa atau sekitar 11,3% pada 1996.
Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 49,5 juta orang, atau sekitar 24,2%.
Akibat resesi, industri besar dan sedang berkurang drastis dari 22.997 perusahaan pada 1996 menjadi 20.422 pada 1998. Jumlah tenaga kerja pada periode tersebut anjlok hingga 18,5% atau 3,53 juta orang.
4. Krisis Subprime Mortgage dan Krisis Keuangan Global 2008/2009
Krisis keuangan 2008-2009 dipicu oleh kredit macet di sektor properti AS (subprime mortage). Krisis tersebut kemudian menumbangkan sejumlah perusahaan seperti Lehman Brothers. Akibat dari krisis tersebut, ekonomi AS terkontraksi 0,34% pada 2008 dan 3,07% pada 2009.
Krisis di AS menjalar di tingkat global melalui sektor keuangan. Pasar keuangan Indonesia baik saham, mata uang, hingga obligasi jatuh akibat aksi jual.
Sektor keuangan Indonesia terimbas besar karena derasnya arus modal ke luar (capital outflow).
Yield surat utang pemerintah tenor 10 tahun melambung ke level tertingginya pada Oktober 2008 ke 18,52%. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 60,73% dari posisi tertingginya pada Januari 2.830,26 menjadi 1.111,39 pada Oktober.
Pertumbuhan ekonomi global juga menurun menjadi 2,8% pada 2008 dari 5,42% pada 2007. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri melambat menjadi 4,6% pada 2009 dari 6,1% pada 2008.
Ekonomi Indonesia dengan cepat bangkit dari keterpurukan dan tumbuh 6,2% pada 2010.
4. Resesi 2020/2021
Resesi ketiga yang dialami Indonesia adalah pada 2020/2021. Berbeda dari resesi 1963 dan 1998 yang dipicu oleh persoalan ekonomi, resesi 2020/2021 disebabkan oleh krisis kesehatan.
Krisis bermula dari menyebarnya virus Covid-19 dari China. Virus dengan cepat menyebar ke seluruh dunia hingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 13 Maret 2020.
Untuk menekan penyebaran Covid-19, seluruh negara melakukan pembatasan mobilitas bahkan sebagian besar "mengunci" negara mereka dengan menutup perbatasan.
Ekonomi Indonesia pun langsung terjun bebas pada kuartal I-2020 dengan mencatatkan kontraksi sebesar 5,32% (year on year/yoy). Kontraksi mengecil pada kuartal III-2020 sebesar 3,49% (yoy), kuartal IV sebesar 2,17% (yoy), dan kuartal IV sebesar 0,70%.
Absennya aktivitas ekonomi membuat angka pengangguran dan kemiskinan melonjak tajam. BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2020 mencapai 27,55 juta orang, naik 2,76 juta orang dibandingkan September 2019 atau sebelum pandemi.
Tingkat kemiskinan juga melonjak 10,19%, level double digit yang pertama sejak September 2017. Sementara itu, jumlah pengangguran pada Agustus 2020 tercatat 9,77 juta orang atau naik 2,67 juta dalam setahun.
Ekonomi Indonesia bangkit setelah terpuruk setahun. Pada kuartal II-2022, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 7,07% (year on year). Sempat melambat pada kuartal III-2022, Indonesia kemudian mencatatkan pertumbuhan di atas 5% sejak kuartal IV-2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA