Senyum Jokowi Makin Lebar, RI Akan Ketiban Durian Runtuh Lagi
Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah untuk menyetop keran ekspor bauksit sudah di depan mata. Pasalnya, tinggal tujuh bulan lagi, tepatnya mulai Juni 2023 ekspor bauksit ini akan dihentikan oleh pemerintah.
Hal ini sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Adapun penghentian ekspor bauksit ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Artinya, komoditas yang dijual, apalagi yang diekspor, harus sudah melewati proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terlebih dahulu, sehingga bukan lagi "hanya" menjual bahan mentah yang selama ini dilakukan.
Bila Indonesia menjual hasil olahan bauksit ini atau setidaknya berupa alumina, maka penerimaan negara diperkirakan akan melejit hingga delapan kali lipat.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan, potensi penambahan pendapatan negara bisa melesat hingga delapan kali lipat dari hilirisasi bauksit menjadi alumina.
Dalam catatannya, Irwandy menyebutkan, pada 2021 harga bijih bauksit sekitar US$ 24 - US$ 30 per ton atau sekitar Rp 469.323 per ton. Hal itu menyumbang pendapatan negara sebesar US$ 628 juta atau setara dengan Rp 9,8 triliun (asumsi kurs Rp 15.646 per US$) dengan penjualan sebanyak 23 juta ton bijih bauksit.
Sementara bila dijual berupa alumina, penerimaan negara diperkirakan bisa melejit delapan kali lipat karena dengan asumsi harga alumina kini sekitar US$ 200 - US$ 300 per ton.
Dengan asumsi penjualan pada volume yang sama saja, artinya penerimaan negara bisa melejit menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 79 triliun bila menjual dalam bentuk alumina.
"Dengan harga bijih bauksit itu kira-kira US$ 24 - US$ 30 per ton itu kemarin tahun 2021. Kita menjual sekitar 23 juta ton itu sekitar US$ 628 juta. Itu sedemikian rupa, begitu angka ini akan melesat apabila kita berhasil menjadi alumina dari bijih bauksit dalam proses smelter bauksit grade alumina," paparnya dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Rabu (02/11/2022).
"Ini harga jualnya dapat menjadi sekitar US$ 200 - US$ 300 per ton. Anda bisa bayangkan delapan kali kurang lebih ya," ucapnya.
Menurutnya, angka ini bisa kembali melambung bila Indonesia bisa memprosesnya lagi menjadi aluminium. Apalagi, lanjutnya, harga aluminium kini sudah mencapai sekitar US$ 2.000 per ton.
"Kemudian, terlebih lagi alumina diolah menjadi aluminium harga jualnya melesat hingga US$ 200 per ton. Jadi kita bisa bayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
Dia menyebut, produksi bijih bauksit RI pada 2021 menyentuh angka 25,8 juta ton. Namun, dari total produksi tersebut, sebanyak 23,2 juta ton bijih bauksit diekspor ke luar negeri. Sedangkan untuk diserap smelter dalam negeri hanya sebesar 2,6 juta ton.
Padahal, saat ini ada empat smelter bauksit yang beroperasi dengan kapasitas penyerapan 10,5 juta ton bauksit.
Seperti diketahui, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), Indonesia pada Juni 2023 mendatang harus menyetop keran ekspor mineral mentah, termasuk bauksit.
UU Minerba itu sendiri mengatur ekspor mineral yang belum dimurnikan seperti konsentrat, dibatasi hanya tiga tahun sejak UU ini berlaku pada 10 Juni 2020. Tiga tahun setelah diundangkan artinya pelarangan ekspor bahan mentah dan konsentrat mineral berlaku mulai 10 Juni 2023 mendatang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun akan mewajibkan perusahaan tambang untuk mengolah mineral mentahnya di dalam negeri sebelum diekspor, sehingga Indonesia memiliki nilai tambah jauh lebih besar ketimbang hanya mengekspor bahan mentah.
Amanat UU Minerba ini juga dipertegas dalam Peraturan Menteri ESDM No.17 tahun 2020 di mana pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan izin ekspor bauksit dengan kadar 42% paling lama sampai 10 Juni 2023.
(wia)