Ada yang Tak Beres! Ekspor Melesat, RI Malah Kekeringan Dolar
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak habis pikir. Kekeringan stok dolar AS terjadi di Tanah Air ketika neraca perdagangan dihiasi oleh surplus selama 29 bulan beruntun. Ekspor Indonesia yang meningkat seharusnya meninggalkan jejak cadangan devisa dalam bentuh dolar yang 'gendut'.
Nyatanya, likuiditas mata uang Negeri Paman Sam ini justru menipis di tengah fenomena 'strong dollar'.
Hal ini tercermin pada pertumbuhan kredit valas yang melaju kencang, namun tak disertai dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas.
Bank Indonesia (BI) mencatat, pada September 2022, pertumbuhan kredit tumbuh double digit atau sebesar 18,1%, sementara pertumbuhan penghimpunan DPK valas hanya mencapai 8,4%.
Sejalan dengan itu, BI juga memperkirakan dana asing yang keluar dari Indonesia atau net outflow pada Kuartal III-2022 diperkirakan akan mencapai US$ 2,1 miliar atau setara Rp 32,55 triliun (kurs Rp 15.500/US$).
Terbatasnya pasokan valas ini juga diakui oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti saat konferensi pers BI pada beberapa waktu lalu.
"Likuiditas valas terbatas, padahal trade balance besar. Satu hal ini memang agak berbeda dengan periode-periode yang lalu," ungkap Destry.
BI selaku otoritas moneter diharapkan bisa menjadi katalis dalam menstabilkan pasar keuangan di dalam negeri.
Otoritas fiskal akhirnya angkat bicara. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan pihaknya segera melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI).
"Kita sama BI akan melihat mengenai supply dari currency terutama hard currency, dari kami dengan BI karena berkolaborasi," kata Sri Mulyani di kantornya belum lama ini.
Fenomena kekeringan dolar ini memang cukup bikin geleng-geleng kepala. Pasalnya, surplus neraca perdagangan Januari-September 2022 tercatat mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.
Bahkan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pun percaya bahwa surplus akan berlanjut hingga akhir tahun dan Indonesia akan membukukan surplus US$ 60 miliar.
Lantas, kemana larinya dolar AS?
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena surplus bertubi-tubi.
Singapura yang tingkat bunganya relatif lebih menarik. Rata-rata bunga deposito valas di Singapura mencapai 3%. Jauh di bawah rata-rata di dalam negeri.
Alhasil, eksportir lebih senang menaruh uangnya di luar negeri dan tidak menukarkan ke rupiah yang tengah mengalami tren penurunan.
Kepala Ekonom BCA David Sumual juga mengungkapkan, mengeringnya likuiditas valas di dalam negeri saat ini tak terlepas dari banyaknya dana asing yang keluar dari pasar keuangan dalam negeri atau capital outflow.
"Dari pasar modal, terutama obligasi, kecenderungan outflow hampir US$ 10 miliar year to date (dari awal tahun 2022 sejak saat ini)," jelas David kepada CNBC Indonesia.
(haa/haa)