Ramalan Eks Menkeu: Ini Tanda Perusahaan RI yang Bakal Ambruk

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
31 October 2022 06:45
Chatib Basri
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah terhadap dolar AS ternyata memakan korban korporasi dalam negeri. Developer dan pengelola kawasan industri, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), baru saja mendapatkan rapor buruk.

Rating utang jangka panjangn KIJA dipangkas oleh PT Fitch Ratings Indonesia, menjadi CC dari sebelumnya di level B- pada pekan lalu. Peringkat CC menunjukkan adanya potensi risiko KIJA gagal bayar utang.

Downgrade peringkat utang itu juga mengenai obligasi senior tanpa jaminan senilai US$300 juta yang baru akan jatuh tempo pada 5 Oktober 2023. Rating obligasi yang kini menjadi CC dari B- ini dijamin oleh KIJA dan diterbitkan oleh anak usahanya Jababeka International BV.

Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan adanya peningkatan ketidakpastian tentang kemampuan KIJA untuk mengatasi pembayaran obligasi yang akan jatuh tempo dalam 12 bulan ke depan.

Padahal, pada awal bulan ini Jababeka sudah mendapat kucuran utang dolar AS dari Bank Mandiri senilai US$ 100 juta. Utang baru ini jatuh tempo lima tahun dengan cicilan setiap enam bulan sekali. Manajemen sudah mengakui, tujuan utang baru itu diantaranya untuk membayar utang jatuh tempo, termasuk obligasi US$ 300 juta yang harus lunas Oktober 2023.

Di balik kondisi ini, CNBC Indonesia mencatat bahwa Ekonom Senior Chatib Basri pernah memberikan peringatan terkait dengan bahayanya pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

Pada awal Oktober, dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Chatib membagikan 'ramalan' terkait dengan fenomena 'strong dollar' dan pengaruhnya bagi korporasi Indonesia.

Menurutnya, fenomena keperkasaan dolar AS atau 'strong dollar' dapat menimbulkan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang utangnya menggunakan mata uang Negeri Paman Sam tersebut.

Mantan menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut mengungkapkan fenomena strong dollar dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.

"Orang akan selalu melihat relative growth, kalau growth suatu negara relatif lebih baik dari negara lain, investor akan prefer taruh (aset) di situ dibandingkan di negara lain. Itu yang bikin nilai tukarnya (dolar AS) masih akan kuat," ujar Chatib dalam dialog bersama CNBC Indonesia.

Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.

Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.

"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," ungkap Chatib.

Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.

Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.

Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.

"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," ungkap Chatib.

Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.

Fenomena strong dollar ini menimbulkan implikasi 'kemarau dolar' di dalam negeri, sejalan dengan kaburnya asing dari pasar dalam negeri. Investor asing memilih menampung dolar di tengah kondisi yang tidak pasti saat ini.

Terhadap fenomena ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat suara. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan pihaknya segera melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI).

"Kita sama BI akan melihat mengenai supply dari currency terutama hard currency, dari kami dengan BI karena berkolaborasi," kata Sri Mulyani saat ditemui di kantornya belum lama ini.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas! Dunia Kacau Balau, Perusahaan di RI Bisa Ambruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular