Awas! Dunia Kacau Balau, Perusahaan di RI Bisa Ambruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena keperkasaan dolar AS atau 'strong dollar' dapat menimbulkan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang utangnya menggunakan mata uang Negeri Paman Sam tersebut.
Mantan menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri mengungkapkan fenomena strong dollar dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.
"Orang akan selalu melihat relative growth, kalau growth suatu negara relatif lebih baik dari negara lain, investor akan prefer taruh (aset) di situ dibandingkan di negara lain. Itu yang bikin nilai tukarnya (dolar AS) masih akan kuat," ujar Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Rabu malam (6/10/2022).
Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.
Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.
"Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca," tegas Chatib.
Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.
"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.
Sebagai catatan, Chatib menggarisbawahi sebagian besar perusahaan asing di Indonesia memiliki orientasi bisnis ke pasar domestik. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.
Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. "Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.
"Jadi penguatan dolar akan menimbulkan efek balance sheet, efek neraca, dimana perusahaan kontraktif," tegas Chatib.
Oleh karena itu, dia melihat sulit ekonomi Indonesia mengandalkan sektor swasta ke depannya karena ada efek neraca, ditambah dengan tren kenaikan suku bunga acuan.
Sektor swasta pun tampaknya telah membaca risiko nilai tukar. Mengutip data Bank Indonesia (BI), posisi Utang Luar Negeri (ULN) swasta pada Juli 2022 tercatat sebesar US$ 206,3 miliar, menurun dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya sebesar US$ 207,7 miliar.
Secara tahunan, ULN swasta terkontraksi 1,2% (yoy), lebih dalam dari kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 0,7% (yoy).
Perkembangan tersebut disebabkan oleh kontraksi ULN lembaga keuangan (financial corporations) dan perusahaan bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporation) masing-masing sebesar 2,0% (yoy) dan 0,9% (yoy) terutama karena pembayaran neto surat utang.
Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi; sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin; sektor industri pengolahan; serta sektor pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 77,3% dari total ULN swasta.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lapor Pak Jokowi! Ramalan Mantan Menkeu Ini Jadi Nyata
