CNBC Indonesia Research

Alarm Berbunyi! Krisis Energi, Industri Eropa Bakal Runtuh?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
Kamis, 20/10/2022 19:00 WIB
Foto: Ilustrasi Ekonomi Jerman. (AP/Michael Probst)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi di Eropa kini mulai mengancam keberlangsungan sektor industri menjelang musim dingin yang makin dekat. Para pelaku industri pun mencari berbagai solusi untuk bertahan di situasi yang sulit.

Seperti diketahui, pascaperang Rusia-Ukraina, harga energi di Eropa telah meningkat empat kali lipat pada tahun ini. Krisis ini terjadi karena Rusia telah memangkas aliran gas alam Eropa yang semula melimpah dan digunakan untuk menggerakkan denyut ekonomi Eropa mulai dari pabrik, pembangkit listrik, dan menjaga rumah tetap hangat selama musim dingin.

Rusia memasok sekitar 40% gas alam Eropa sebelum perang. Porsi tersebut telah turun menjadi sekitar 15% saja saat ini, menyebabkan harga meroket dan membebani industri padat energi.


Melansir Financial Times, harga energi acuan Eropa bahkan lebih mahal jika dibandingkan dengan harga energi acuan Amerika Serikat Henry Hub. Harga energi di Eropa pun bergerak sangat volatil ketimbang harga energi di AS. Hal tersebut menyiratkan bahwa negara-negara Eropa lebih bergantung akan energi Rusia.

Sumber: Refinitiv,FT

Gas merupakan sumber energi terpenting bagi industri Eropa, bahkan gas menjadi bahan baku penting yang digunakan dalam industri kimia dan pupuk.

Secara total, industri mengkonsumsi sekitar 27-28% dari total keseluruhan pasokan energi di Benua Biru, menurut Wakil Direktur Penelitian gas di Institut Oxford untuk Studi Energi Anouk Honore.

Dari total konsumsi industri Eropa tersebut, industri kimia dan petrokimia menggunakan sebanyak 10% gas. Disusul oleh industri mineral non-logam dan industri makanan, minuman, dan tembakau yang masing-masing mengkonsumsi sebesar lebih dari 3%. Industri logam dan kertas memiliki porsi konsumsi sebesar 3% dan 2%.

Industri Jerman

Jerman merupakan ekonomi terbesar di Uni Eropa, bahkan konsumsi industri mendominasi konsumsi gas karena output produksi juga diperlukan oleh berbagai negara bagian Uni Eropa lainnya.

Misalnya, BASF merupakan perusahaan pemasok utama bahan kimia dari Jerman. Produknya tidak hanya digunakan sebagai bahan baku industri kimia, tapi juga industri otomotif hingga pasta gigi.

Di pabriknya di Ludwigshafen, Jerman, BASF memiliki kompleks industri seluas 10 km persegi. Di pabrik ini, BASF membuat berbagai jenis produk seperti amonia, desinfektan, cairan knalpot diesel, atau karbon dioksida untuk minuman bersoda.

Tidak heran, jika sektor industri Jerman mengkonsumsi paling banyak hampir 30% dari total konsumsi energi dari Eropa.

Namun, beberapa waktu lalu pemerintah Jerman sempat mengumumkan rencananya untuk mengambil langkah-langkah penghematan energi sebagai upaya untuk bertahan pada situasi yang sulit saat ini. Konsekuensinya, tentu akan merembet pada negara-negara lain di Eropa. Pasalnya, industri Eropa sangat bergantung pada industri Jerman. Sehingga dampaknya akan semakin luas dan dapat merembet ke perekonomian di Eropa.

Belum selesai bergelut dengan tingginya harga energi di Eropa, kini para pelaku industri juga harus dipusingkan dengan musim dingin yang akan segera tiba. Ketika musim dingin tiba, tentu konsumsi akan listrik akan bertambah seiring dengan penggunaan alat pemanas.

Bahkan, Kepala European Round Table for Industry Charles Michel menyerukan bahwa perusahaan sebaiknya segera membatasi konsumsi energi karena berpotensi berdampak buruk pada bisnis.

"Melonjaknya harga energi saat ini memicu penurunan yang mengkhawatirkan dalam daya saing konsumen energi industri Eropa," tulis Meja Bundar Eropa untuk Industri dalam sebuah surat kepada Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa dan Charles Michel, Kepala European Round Table for Industry.

Lonceng alarm pun berdering di antara para politisi Eropa.

"Kami mempertaruhkan deindustrialisasi besar-besaran di benua Eropa," tutur Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo.

Kombinasi melonjaknya harga gas dan musim dingin yang akan tiba, membuat para pelaku industri untuk memikirkan cara agar dapat bertahan pada situasi yang sulit ini.

Hemat Energi

Sektor baja, bahan kimia, keramik, produsen kertas, pupuk, hingga otomotif berlomba-lomba mengurangi konsumsi energi untuk memangkas biaya tagihan yang melonjak, serta mempersiapkan pasokan gas selama musim dingin jika pemerintah memberlakukan penjatahan konsumsi energi.

Di sisi lain, para pelaku industri menemukan cara cerdik untuk mengurangi penggunaan energi. Misalnya, produsen mobil ternama asal Perancis, Renault. Mereka memutuskan untuk mengurangi durasi untuk membuat cat mobil tetap panas. Proses tersebut memiliki porsi hingga 40% dari konsumsi gas. Inovasi tersebut tentunya akan membuat proses produksi menjadi lebih efisien.

Berbeda halnya dengan Renault, produsen bahan kimia dasar dan bahan aktif untuk farmasi memilih untuk menaikkan harga dasar hingga 35% ketika harga energi melonjak. Sementara DS Smith yang merupakan produsen kertas dan pengemasan telah memangkas konsumsi energi sebesar 15%. Pengurangan konsumsi tersebut memang telah disepakati oleh negara-negara Uni Eropa pada Juli 2022.

Mesin produksi akan dimatikan ketika tidak digunakan dan menurunkan suhu pemanas di ruangan.

"Jika kami melakukan hal seperti itu dan menurunkan thermostat dari 20 derajat menjadi 18,5 derajat, kami mengurangi konsumsi gas secara signifikan," ucap Kepala Eksekutif DS Smith Miles Roberts.

Vale, perusahaan pemasok otomotif Perancis turut melakukan langkah yang serupa untuk mengurangi konsumsi energi hingga 20% dengan menghentikan produksi pada akhir pekan dan menurunkan pemanas selama sepekan.

Solvay, perusahaan kimia asal Belgia memaparkan rencananya untuk memangkas penggunaan gas sebesar 30% dan menggunakan energi alternatif dan boiler berbahan bakar diesel.

Arc International, produsen barang pecah belah Perancis mengatakan bahwa pabrik biasanya mengoperasikan tungku 24 jam sehari dan menghabiskan setengah penggunaan energi pabrik. Namun, saat ini mereka telah menghentikan dua dari sembilan tungku, setelah tagihan gas meningkat hampir empat kali lipat tahun ini.

Namun, tidak mudah untuk memangkas konsumsi gas dari banyak proses industri karena sekitar 60% konsumsi gas digunakan untuk proses suku tinggi 500 Celcius, seperti pembuatan kaca, semen, dan keramik. Sementara untuk proses suhu yang lebih rendah, industri dapat menggunakan energi terbarukan dan pompa panas.

Menurunkan Produksi

Analis di bank investasi Jeffries memperkirakan hampir 10% dari kapasitas baja mentah Eropa telah menganggur dalam beberapa bulan terakhir. ArcelorMittal, produsen baja terbesar di Eropa, memprediksikan output dari produksinya di Eropa akan turun 17% pada kuartal ini dibandingkan dengan tahun lalu setelah memangkas produksi.

Eurometaux menyatakan bahwa semua pabrik peleburan seng Uni Eropa membatasi atau bahkan sepenuhnya menghentikan operasi, sehingga Eropa akan kehilangan sekitar 50% dari produksi aluminium primer.

Beralih ke Bahan Bakar Fosil

Banyak perusahaan yang kembali beralih ke bahan bakar fosil, setelah berencana untuk menggunakan energi terbarukan sepenuhnya. Bayer, kini memilih mengaktifkan kembali energi dari batu bara untuk berjaga-jaga jika mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan energi untuk produksi.

Volkswagen, menjalankan pembangkit listrik di Wolfsburg dengan bahan baku batu bara menjelang musim dingin, alih-alih beralih ke energi terbarukan seperti rencana sebelumnya.

Impor

Cefic, Badan Perdagangan Industri Kimia Eropa melaporkan bahwa sejak Maret 2022, Eropa telah menjadi importir bersih bahan kimia untuk pertama kalinya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi produksi karena harga energi mahal.

Selain itu, perusahaan baja asal Italia juga melihat peluang untuk memindahkan produksinya ke Asia yang memiliki biaya produksi yang lebih rendah. Menurutnya, harga gas saat ini telah melesat menjadi EUR 400/ton dari EUR 40/ton, belum lagi mereka harus merogoh kocek untuk membayar pajak karbon dengan total produksi menjadi EUR 600/ton. Serupa, DS Smith kini mencari pemasok kertas dari Amerika Utara karena biaya jauh lebih rendah.

Namun, beberapa analis memprediksikan bahwa industri Eropa akan tetap terpukul. Goldman Sachs memperkirakan bahwa 40% industri kimia Eropa beresiko rasionalisasi permanen, kecuali harga energi terkendali.

Sementara konsultan Rhodium menyatakan bahwa lima sektor yang menggunakan sekitar 81% dari konsumsi gas untuk produksinya, seperti bahan kimia, logam dasar seperti baja dan besi, produk mineral non-logam seperti semen dan kaca, pemurnian, serta kertas dan percetakan, tidak memungkinkan untuk memangkas konsumsi gas tanpa merusak peralatan secara permanen.

Pada pembuatan kaca misalnya, energi dibutuhkan untuk menghangatkan kaca agar tidak mengeras, sehingga ketika perusahaan berencana untuk memangkas 30% penggunaan gas maka akan merusak pabrik dan membutuhkan enam hingga satu tahun untuk memulai kembali.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 68% Orang RI Tergolong Miskin -Jerman Hapus Hari Libur Nasional