
Badai Besar di Depan Mata! Lebih Ngeri Dari 1998 Atau 2008?

Jakarta, CNBC Indonesia - Semua negara saat ini dihantui oleh lonjakan inflasi dan risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi. Situasi ini lantas memunculkan kekhawatirkan ada beberapa negara yang akan jatuh ke jurang resesi.
Terhitung sejak 1900-an, deretan krisis di bidang ekonomi telah dialami dunia dengan penyebab dan magnitude yang berbeda-beda. Di antaranya yakni The Great Depression di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1930-an, Krisis Jerman (1929-1939) usai Perang Dunia I, Gelembung Harga Aset Jepang (1980-an).
Krisis Nilai Tukar Peso Meksiko (1990-an), Krisis Ekonomi Asia (1997/1998), Krisis Keuangan Rusia dan Brazil (akhir 1990- an), subprime mortgage crisis, Amerika Serikat (2008-2009), hingga Krisis Hutang Eropa (2009-2015), dan Krisis Pandemi Covid-19 (2020-sekarang).
Dari sederet krisis tersebut, Krisis Ekonomi Asia pada 1997/1998, Subprime Mortgage 2007-2009, dan Pandemi Covid-19 memberi dampak besar kepada Indonesia.
Krisis Ekonomi Asia atau dikenal juga dengan Krisis Moneter bahkan menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung hingga 32 tahun.
Krisis tersebut juga membuat Indonesia ke bawah titik nadir dan berdampak kepada seluruh sendi-sendi kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial.
Krisis keuangan pada 2008-2009 juga berdampak besar kepada Indonesia, tetapi dampaknya lebih dirasakan sektor keuangan.
Berbeda dengan sejumlah krisis global, Krisis Pandemi Covid-19 disebabkan penyebaran virus Covid-19. Pandemi membuat perekonomian luluh lantak karena "mati surinya" aktivitas ekonomi akibat penyebaran virus corona.
Saat dunia belum sembuh dari pandemi, krisis ekonomi baru mengancam yang dipicu oleh serangan Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Perang membuat harga komoditas melambung, inflasi melonjak, dan pertumbuhan melambat.
Dengan status sebagai eksportir komoditas, perang tidak hanya memberi dampak negatif ke Indonesia tetapi juga dampak positif. Perang membuat penerimaan negara meningkat sehingga pemerintah bisa menyediakan buffer yang cukup untuk memitigasi dampak perang.
Namun, Indonesia juga tidak sepenuhnya aman karena masih mengimpor minyak mentah dan komoditas pangan seperti gandum dalam jumlah besar. Kondisi tersebut bisa membuat Indonesia rawan terutama jika perang tidak juga usai dan harga minyak mentah terus melambung.
Pengalaman krisis keuangan 2008-2009 menunjukkan bahwa Indonesia yang menggantungkan 56% ekonominya kepada konsumsi domestik pun tidak kebal dari goncangan global.
Krisis pada 1997/1998 juga tidak bermula dari Indonesia tapi dari negara lain tetapi Indonesia menjadi negara yang paling terimbas.
Lalu, seperti apakah kondisi ekonomi Indonesia pada periode krisis 1997/1998 maupun 2008/2009? Apa yang membedakan dengan kondisi saat ini?
1. Krisis Ekonomi Asia 1997/1998
Krisis Ekonomi Asia atau Krisis Moneter pada 1997/2998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand. Krisis itu menjalar ke Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh.
Fondasi ekonomi Indonesia dinilai keropos karena sistem perbankan yang buruk serta besarnya utang dalam dollar AS.
Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.
Berdasarkan Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi Kementerian Keuangan, sebelum 1997, perekonomian Indonesia sedang tumbuh tinggi sekitar 7% dengan dimotori oleh investasi.
Kondisi tersebut membuat pihak swasta menambah utang untuk menggerakkan proyek akibatnya utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998.
Pengawasan yang buruk juga membuat sistem perbankan Indonesia rapuh karena banyak dikuasai sekelompok pebisnis. Pada 1988 Indonesia mengeluarkan aturan di dunia perbankan yang mengizinkan siapa saja untuk mendirikan bank asalkan memiliki modal Rp 10 miliar.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mendirikan bank sekaligus membiayai bisnis termasuk dari luar negeri.
Krisis 1997/1998 bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.
Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Besarnya utang swasta dari peminjam luar negeri membuat perbankan ambruk menjalar ke sektor lain karena banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang akibat kurs yang terus melemah.
Menurut Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi, nilai tukar merosot tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998.
Menyusul terus melemahnya rupiah, pemerintah akhirnya melepas rupiah sesuai mekanisme pasar atau free floating. Kebijakan tersebut menggantikan managed floating yang dianut sejak 1978.
Indonesia harus membayar mahal atas terjadinya krisis 1997/1998 yakni runtuhnya pemerintahan hingga krisis politik dan sosial yang mengakibatkan kerusuhan massal. Butuh lebih dari lima tahun bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan krisis 1997/1998.
Pemerintah juga harus melakukan bailout ratusan triliun untuk menghidupkan kembali sektor perbankan. Indonesia juga harus harus meminjam kepada Dana Moneter Internasional (IMF) senilai SDR 7,3 miliar pada tahun 1998.
Krisis 1997/1998 melahirkan sejumlah kebijakan dan aturan baru seperti devisa rezim bebas, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbankan, serta pemberian independensi Bank Indonesia.
2. Krisis 2008/2009: Pasar Keuangan Jatuh
Krisis keuangan 2008-2009 dipicu oleh kredit macet di sektor properti AS (subprime mortgage). Krisis tersebut kemudian menumbangkan sejumlah perusahaan seperti Lehman Brothers.
Akibat dari krisis tersebut, ekonomi AS terkontraksi 0,34% pada 2008 dan 3,07% pada 2009. Pertumbuhan ekonomi global juga menurun menjadi 2,8% pada 2008 dari 5,42% pada 2007.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri melambat menjadi 4,5% pada 2009 dari 6,1% pada 2008. Pertumbuhan Indonesia pada 2009 menjadi yang tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India.
Indonesia bisa terhindari dari perlambatan ekonomi yang dalam karena struktur ekonomi banyak didorong permintaan domestik. Inflasi juga tercatat rendah 2,78%, terendah dalam satu dekade terakhir.
Namun, Indonesia tidak kebal sepenuhnya dari goncangan global. Krisis di AS menjalar di tingkat global melalui sektor keuangan. Pasar keuangan Indonesia baik saham, mata uang, hingga obligasi jatuh akibat aksi jual. Sektor keuangan Indonesia terimbas besar karena derasnya arus modal ke luar (capital outflow).
Menurut Laporan Perekonomian Bank Indonesia 2008, nilai tukar rupiah mengalami tekanan depresiatif yang besar, melemah dari Rp 9.160/US$ pada Juli 2008. Pelemahan mencapai level terburuk pada bulan Desember 2008 sebesar Rp 11.238/US$, atau mengalami depresiasi sebesar 22,7%.
Sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, cadangan devisa terkuras cukup dalam dari US$ 60,56 miliar pada Juli 2008 menjadi US$ 51,6 miliar dolar AS pada akhir tahun 2008.
Yield surat utang pemerintah tenor 10 tahun melambung ke level tertingginya pada Oktober 2008 ke 18,52%. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 60,73% dari posisi tertingginya pada Januari 2.830,26 menjadi 1.111,39 pada Oktober.
Krisis ekonomi 2008-2009 melahirkan sejumlah aturan dan kebijakan baru, terutama dalam pengawasan perbankan. Di antaranya adalah kenaikan penjaminan simpanan masyarakat di perbankan yang dijamin oleh LPS dari Rp100 juta menjadi Rp 2 miliar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga lahir setelah terjadinya krisis keuangan 2008/2009.
(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hot News! BBM Naik Hingga Menkeu Blak-Blakan Soal Resesi
