Siap-Siap RI Kipas-Kipas Duit dari Aluminium, Nyusul Nikel!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia berpotensi bakal mendapat keuntungan dari program hilirisasi produk mineral yang saat ini tengah digencarkan. Setelah nikel, produk aluminium diproyeksi akan memberikan nilai tambah yang cukup signifikan.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan, selain nikel, pemerintah juga mendorong agar smelter mineral seperti aluminium mulai berkembang pesat. Bahkan, pembangunan proyek smelter aluminium untuk kapasitas 500 ribu ton per tahun di Kalimantan Utara tengah berjalan.
"Sudah ada beberapa automotive company yang tertarik untuk melakukan offtake (membeli) terhadap aluminium produknya karena ini juga akan menggunakan salah satunya menggunakan hydropower," ungkapnya dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, Rabu (28/9/2022).
Sehingga, Seto menilai bahwa industri aluminium di dalam negeri akan berkembang ke depannya. Apalagi, lanjutnya, tidak hanya ada di Kalimantan Utara saja, namun smelter aluminium juga sudah ada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
"Jadi saya kira aluminium sebentar lagi akan ikut mengejar ya, ngejar nikel," kata dia.
Seperti diketahui, aluminium merupakan produk jadi dari bahan mineral bauksit. Saat ini Pemerintah Indonesia masih mengizinkan ekspor bauksit. Kendati demikian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan berkali-kali bahwa pemerintah akan segera menghentikan ekspor bahan mentah, termasuk bauksit.
Presiden menginginkan proses pengolahan dan pemurnian bauksit hingga menjadi aluminium dan produk turunan lainnya terjadi di dalam negeri, sehingga nilai tambah dirasakan masyarakat Indonesia, seperti yang terjadi pada nikel.
Jokowi mencatat, karena adanya pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 dan hanya ekspor produk hasil hilirisasi, pendapatan negara melejit signifikan dari yang sebelumnya hanya US$ 1,1 miliar atau Rp 15 triliunan pada tahun 2017-an menjadi US$ 20,9 miliar atau Rp 360 miliar pada tahun 2021.
Komoditas bauksit bisa diolah menjadi produk aluminium yang biasa digunakan untuk keperluan konstruksi/ bangunan, peralatan mesin, transportasi, kelistrikan, kemasan, barang tahan lama, dan lainnya.
Bila Indonesia benar-benar mengolah bauksit menjadi produk jadi siap pakai tersebut, maka tak terbayangkan nilai tambah yang dihasilkan negeri ini akan jauh berlipat-lipat dibandingkan hanya memproduksi dan menjual barang mentah bauksit ini.
Berdasarkan data Booklet Bauksit 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS Januari 2020, jumlah cadangan bauksit Indonesia mencapai 1,2 miliar ton atau 4% dari cadangan bijih bauksit dunia yang sebesar 30,39 miliar ton.
Adapun pemilik cadangan bijih bauksit terbesar di dunia yaitu Guinea mencapai 24%, lalu Australia menguasai 20%, Vietnam 12%, Brazil 9%, dan kemudian di peringkat kelima ada Jamaika 7%.
Berdasarkan data Kementerian ESDM ini, jumlah sumber daya bijih terukur bauksit Indonesia mencapai 1,7 miliar ton dan logam bauksit 640 juta ton, sementara cadangan terbukti untuk bijih bauksit 821 juta ton dan logam bauksit 299 juta ton.
"Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku bauksit dunia," tulis Booklet Bauksit 2020 tersebut.
(wia)