Mimpi RI Jadi Raja Baterai Listrik, Apa yang masih kurang?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah untuk menjadi raja baterai listrik dunia semakin dekat. Namun demikian, terdapat salah satu bahan baku baterai yang Indonesia sendiri masih bergantung kepada negara lain, yakni lithium.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), Septian Hario Seto mengatakan bahwa terdapat beberapa tantangan bagi Indonesia dalam menggenjot program hilirisasi nikel untuk pembuatan baterai kendaraan listrik. Salah satunya terkait ketersediaan lithium.
Menurut Seto, saat ini RI masih mengandalkan impor untuk memenuhi bahan baku tersebut. "Jadi kalau kita mau meningkatkan value added baterai dari prekursor menjadikan katoda kita butuh lithium jadi saya kira ini 1 PR," ujarnya dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, Rabu (28/9/2022).
Namun demikian, Seto sempat bertemu dan berdiskusi dengan beberapa perusahaan lithium dari Amerika dan Australia, dan berharap mereka mau membangun lithium refinery di Indonesia. "Jadi kita mau punya ekosistem lengkap. Saya kira ini satu langkah yang sangat penting ya next untuk nikel," kata dia.
Holding BUMN tambang MIND ID sebelumnya berencana untuk mengakuisisi tambang di luar negeri guna mendukung pengembangan baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia. Mengingat, 20% bahan baku baterai selama ini masih bergantung pada pasokan di negara lain.
Direktur Hubungan Kelembagaan Mind ID, Dany Amrul Ichdan menjelaskan bahwa komponen bahan baku kendaraan listrik 80% merupakan dari bijih nikel. Dimana Indonesia sendiri saat ini merupakan penghasil bijih nikel terbesar di dunia.
Namun demikian, sisanya sebesar 20%, bahan baku untuk baterai kendaraan listrik masih bergantung pada negara lain. Seperti China, Chile dan Australia.
"Kita perlu menyusun peta jalan kemandirian agar kita tidak tergantung para produk impor walau 20% jumlahnya. Apakah kita melakukan aksi korporasi untuk mengambil tambang lithium di luar negeri ataukah seperti apa, IBC sedang membuat peta jalan, paling tidak ketergantungan impor ini dikurangi," kata dia dalam RDP bersama Komisi VII, Senin (19/9/2022).
Lebih lanjut, ia merinci bahan baku baterai seperti lithium misalnya, kebutuhannya dapat mencapai 70 ribu ton per tahun yang selama ini diimpor dari China, Chile dan Australia. Kemudian, selain lithium terdapat juga kebutuhan bahan baku baterai berupa graphite dengan total impor 44 ribu ton per tahun.
Adapun bahan baku tersebut juga harus didatangkan dari China, Brazil hingga Mozambik. Berikutnya yakni bahan baku seperti mangan sulfat dan kobalt yang besarnya masing-masing mencapai 12 ribu ton per tahun. "Dan ini masih impor. Jadi 20% selain nikel kita masih impor," ujarnya.
[Gambas:Video CNBC]
Hilirisasi Harga Mati, Larangan Ekspor Diperluas?
(pgr/pgr)