Situasi Berat! Ekonomi RI Bisa Kena 'Getah' Gelapnya Dunia

27 September 2022 10:30
Lebih Ngeri Dari Covid & Perang, Sri Mulyani Bawa Kabar Buruk
Foto: Infografis/Lebih Ngeri Dari Covid & Perang,, Sri Mulyani Bawa Kabar Buruk/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Prestasi impresif perekonomian Indonesia di tengah badai topan yang melanda perekonomian global berpotensi besar pudar mulai paruh kedua tahun ini.

Ada tiga alasan kuat yang bisa menggerogoti fundamental ekonomi nasional, yaitu makin buramnya prospek global, khususnya negara tujuan ekspor, potensi kekeringan likuiditas akibat capital outflow, dan tekanan inflasi.

Alasan pertama adalah memburuknya perekonomian global seperti tampak pada rilis sejumlah PMI manufaktur negara negara di dunia bulan Agustus lalu.

"Kita harus antisipasi kinerja perekonomian dunia yang akan mengalami pelemahan dan pada manufaktur global. Global PMI menurun ke 50,3. Kalau dilihat, dari negara-negara G20 dan ASEAN 6, (hanya) 24% saja yang PMI masih akselerasi atau aktivitas manufakturnya masih ekspansi," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers daring tentang APBN KITA, 26 September 2022.

PMI manufaktur sejumlah negara yang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia turun pada Agustus dibanding bulan sebelumnya. Ini termasuk Amerika Serikat (AS), Jepang, Brazil, Australia dan Singapura. Bahkan, negara-negara seperti Jerman, Korea Selatan, Kanada, Turki mencatatkan kontraksi pada angka PMI manufakturnya.

Ini membahayakan masa depan kinerja ekspor Indonesia yang teguh meski diterjang badai pandemi dan ketidakpastian ekonomi global sejak dua tahun lalu. Sebagai catatan, AS dan Jepang ada pada rangking negara tujuan utama ekspor terbesar Indonesia pada 2021, di bawah China. Namun, setali tiga uang, JPMorgan misalnya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk tahun ini dan 2023 menjadi 3% dari 3,2% dan dari 5,1% menjadi 4,6% untuk 2023.


Sementara itu pandangan hawkish bank sentral AS, Fed diperkirakan akan memperparah situasi capital outflow dari negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sri Mulyani mengatakan tekanan pasar keuangan yang tadinya cukup mereda kembali mengalami gejolak mulai bulan ini. "Indeks saham global, mulai pulih dan terkoreksi lagi. Juga, dari dolar indeks menguat hingga 110 lawan currency lain dari emerging market mengalami depresiasi," katanya.

Keringnya likuiditas, khususnya dolar AS di pasar uang telah tercermin dari tekanan kurs rupiah terhadap greenback. Kendati, bank Indonesia mengaku terus berada di pasar mengawal pergerakan liar mata uang garuda, namun tetap saja rupiah rupiah ada dalam tekanan.

Melempemnya rupiah terhadap dollar AS memang fenomena global. Kurs negara lan terutama emerging market juga tertekan. Capital outflow di pasar bond Indonesia menunjukkan betapa besarnya arus modal keluar.

Kepemilikan investor asing kini tinggal sekitar 14% dari total keseluruhan, jauh di bawah persentase 'normal' di angka sekitar 38% pada 2019. Menkeu Sri Mulyani memprediksi, trend capital outflow masih akan berlanjut.

Data Bank Indonesia berdasarkan data setelmen 1 Januari- 22 September 2022 menunjukkan investor asing mencatat jual neto sebesar Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).




Berbagai proyeksi dan raihan laju ekonomi nasional telah membuktikan Indonesia cukup konfiden di tengah gejolak ekonomi global. Namun, Menkeu mengingatkan jika inflasi bisa menjadi momok perlu diwaspadai.

"Meskipun Indonesia masih relatif lebih rendah inflasi dibandingkan Emerging Market dan G20 kita fokus untuk mengendalikan inflasi terutama yang berasal dari faktor-faktor controllable harga lapangan yang tidak kita impor dan jaga dari sisi pasokannya. Kita berharap inflasi terkendali dengan baik," ujar Sri Mulyani.

Teorinya, inflasi yang tinggi akan menggerus laju pertumbuhan ekonomi. Meski pada level tertentu diperlukan untuk menggerakkan roda aktivitas perekonomian. Namun, tekanan besar inflasi yang datang dari luar atau imported inflation, dan tekanan inflasi domestik bisa memangkas laju ekonomi yang sudah terdampak oleh ekonomi global.

Perekonomian Indonesia memang telah pulih dibandingkan sebelum pandemic Covid-19 tahun 2019, dan bahkan moncer dibandingkan dengan banyak negara. Buktinya, laju ekonomi kuartal II bisa mencapai 5,44%.

"....dan lihat, hampir semua negara kondisi kuartal keduanya melemah dibandingkan kuartal I, sangat-sangat ekstrem," ujar Menkeu

Sri Mulyani menunjuk ekonomi memble negara besar seperti China, Amerika Serikat, Jerman hingga Inggris yang terus terkoreksi. Untuk urusan pandemic, Menkeu membanggakan, hanya China dan Vietnam yang lebih tinggi dari Indonesia untuk urusan level kesembuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan sebelum pandemi.

Kokohnya ekonomi Indonesia ditopang oleh catatan impresif ekspor. Pada Agustus, mencapai US$27,9 miliar, rekor tertinggi dan tumbuh 9,1% dibandingkan tahun lalu. Bagusnya ekspor membuat surplus neraca perdagangan mencapai US$5,76 miliar, atau mempertahankan rekor 28 bulan surplus. 

Dari dalam negeri, laju perekonomian ditopang oleh sejumlah indikator positif sektor konsumsi. Diantaranya, Indeks Google Mobility 19,4 di atas angka sebelum pandemi, Indeks Penjualan Ritel yang kuat sebesar 5,4%, dan Mandiri Spending Index yang mencapai 132,0. Untuk sinyal produksi, PMI manufaktur juga tetap berada di lajur ekspansif selama 12 bulan, bertengger di 51,7 pada Agustus. Sementara konsumsi listrik untuk bisnis juga tercatat tetap tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular